Minggu, 19 Maret 2017

A Gift To You : My Pisces Guy

Hei, kamu. Selamat ulang tahun ya. Selamat memasuki babak baru dalam sejarah hidupmu.

Waktu aku nulis catatan kecil ini, playlist di laptopku sedang memainkan lagu All Of Me-nya John Legend, yang secara otomatis selalu mengingatkanku padamu. Menyenangkan, sekaligus mengesalkan setiap kali aku mendengar lagu ini. Senang, karena rasanya seperti kamu sedang menyanyikan itu untukku. Kesal karena itu hanya menjadi “seperti”, bukan senyatanya.

Iya, aku nggak jadi melow kok. Aku tahu kamu akan kesal setiap kali aku jadi menye-menye. Lucu ya, kenapa aku masih saja menganggap apa yang kamu nggak suka itu penting. Aku masih merasa bahwa aku harus bisa menjaga diri karenamu. Aku harus bisa lebih bahagia karenamu. Aku harus bisa menunggumu yang selalu berkata “sabar ya, besok juga ketemu”, karenamu. Semua masih tentang kamu, selalu, dan kadang aku membenci itu.

Oh, maaf, harusnya catatan kecil ini adalah tentangmu, bukan tentangku. Tapi, apa yang bisa aku tuliskan tentangmu lagi selain apa yang aku tahu selama ini? Butuh waktu dua tahun, hanya untuk bisa bertemu denganmu sekali saja. Mungkin aku harus menunggu lagi selama empat belas purnama. Padahal kamu bukan Rangga, dan aku bukan cinta. Cerita kita juga  jauh dari Ada Apa Dengan Cinta. Mungkin lebih manis, atau lebih tragis. Biar Tuhan saja yang tahu.

Can, ada banyak cerita yang terlewat dariku tentangmu. Tapi tak apa. Asal aku lihat kamu bahagia, aku pasti akan baik-baik saja.
Hei, kamu tahu? Apa yang selalu aku panjatkan pada Tuhan setiap kali aku berdoa? Jangan tertawa, iya aku sekarang suka berdoa. Aku meminta agar suatu saat nanti bisa menyaksikanmu memainkan gitar lagi di atas panggung. Aku berharap ada di belakang panggung saja. Tentunya aku akan kesusahan kalau harus membaur dengan para pasukan babi itu ahahahha... melihatmu dari belakang panggung. Menunggumu selesai bermain. Menawarkan handuk padamu, menyeka keringatmu, kemudian kita tertawa, menertawakan apa saja.

Aku memang anggota klan utopis sejati.

Tapi tak apa. Bukankah manusia bisa hidup karena ada harapan-harapan. Dan harapanku adalah bisa bersamamu. Menjadi teman, menjadi sahabat baik, menjadi belahan jiwa yang selalu bisa menerima cerita, menumpulkan air mata, dan menyediakan bahu jika salah satu sedang lemah dan terluka. Itu saja. Terlampau jauh jika harus sehidup semati. Aku lebih memilih untuk bisa mengawal bahagia dan sedihmu saja. Walau nggak harus selamanya ada di sisimu.

Seringkali aku bertanya, apakah kamu berubah? Apakah kamu masih orang yang sama seperti empat tahun yang lalu? Akan sangat bodoh jika aku menepikan jawaban bahwa kamu sudah berubah. Lagipula kita semua berubah, bukan? Aku berubah, kamu berubah, kehidupan kita berubah. Walau aku masih menyertakan harap, bahwa masih ada ruang kecil dalam hatimu untuk seorang macan kecil sepertiku.

Kesibukan memang obat paling ampuh membunuh perasaan. Kamu yang penuh dengan waktu-waktu yang padat, aku dengan pikiran-pikiran yang sesak. Kapan kita bertemu? Dalam doa, tentu saja.

Can, selamat ulang tahun.

Aku nggak tahu, akan bermakna apa catatan kecil ini saat kamu membacanya. Tenang, aku nggak menulis ini buat nagih janji tentang Lekker Gajahan, maccaroon, atau janji “kamu bisa andelin aku kok” itu. Aku sudah bisa merelakannya. Kamu ingat aku pernah bilang, “orang yang paling sering berjanji, akan paling banyak mengingkari”. Bukan kamu saja, aku juga. Kita semua begitu.

Can, semoga tahun-tahunmu ke depan akan penuh dengan kelimpahan. Salah satunya adalah waktu. Aku berdoa, Tuhan akan mengaruniakan padamu waktu yang berlimpah. Bukan untukku. Tapi untukmu sendiri. Sehingga kamu bisa menikmati cinta dari orang-orang yang kamu sayangi tanpa harus tersita dengan semua pekerjaan yang menjemukan dan menuntut tanggung jawab itu. Juga waktu agar kamu bisa lebih menikmati bahagiamu.

Selalulah sehat, Can. Kalau kamu flu, janganlah minum obat melebihi dosis seperti biasanya. Badanmu nggak bisa selamanya menanggung beban obat-obatan berlebih begitu. Istirahatlah, Can. Bukan Cuma raga, tapi juga jiwa. Bahagialah, sekali lagi.

Wah, aku sudah mirip emak-emak. Begitulah, usia memang nggak bisa bohong ya? Tertawalah, untuk kali ini. Aku suka mendengar suara tawamu. Juga leluconmu yang seringkali nggak lucu itu. Aku tertawa, semata karena bahagia. Karena itu leluconmu. Karena itu adalah kalimatmu. Karena ada kamu. Begitu.

Can, maaf. Aku belum sempat memberimu kue lemon. Mungkin besok atau lusa. Atau beberapa waktu lagi yang nggak kita tahu pastinya. Tapi pasti, aku akan membuatnya dengan tanganku sendiri. Agar kamu tahu bahwa masih ada aku, yang mau mendengarkan semua yang menjadi inginmu, harapanmu, dan berusaha mewujudkannya, walau nggak semua.

Baiklah, Can. Sambil menunggu untuk bisa menjadi teman berbincangmu lagi. Aku akan terus memanjatkan doa. Menyampaikannya pada Tuhan dan semesta. Saat kita bertemu lagi nanti, aku percaya, kita berdua akan lebih dari baik-baik saja.