Selasa, 22 Juli 2014

Jodoh Salah Alamat

Tidak ada yang pernah menyangka bagaimana sebuah pertemuan bisa terjadi. Skenario apik yang tercipta dari tangan Sang Maestro kehidupan. Sebuah pertemuan adalah awal dari banyak kisah yang beragam. Ada yang akhirnya berakhir bahagia, ada pula yang tak sampai berakhir namun tak juga kunjung mulai.
Hari itu Tasya mulai bekerja di kantor yang baru. Seharusnya ini menjadi hal yang menyenangkan, mengingat terjun di dunia periklanan adalah cita – cita perempuan berambut panjang itu sejak lama. Tetapi dengan bekerja di kantor ini berarti Tasya harus pindah kota dan jauh dari Rendra, yang sampai kemarin masih menjadi pacarnya.
Wajah Tasya nampak muram, senyum yang sedikit dipaksakan seringkali menghiasi bibirnya yang mungil. Guratan kesedihan masih terpancar dari parasnya yang ayu. Pergolakan mengisi batinnya. Berkali – kali terlihat dia mendesah lirih. Dia masih mencintai Rendra, teman SMA-nya yang juga adalah lelaki yang sudah dipacarinya sejak setahun lalu, tetapi dia juga sangat menyukai dunia yang digelutinya sekarang.
Masih jelas diingatannya tentang pertengkaran kemarin, sesaat sebelum Tasya berangkat menuju Jakarta. Di bandara, kata putus itu terucap. Mereka berdua sama – sama keras dengan pendirian. Tasya ingin berkembang dalam kariernya, sementara Rendra tidak pernah mau menjalin hubungan jarak jauh. Akhirnya, kisah asmara itu kandas juga.
***
            “Tasya?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Tasya.
            “Saka?” Seketika senyum Tasya mengembang saat mengetahui pemilik suara itu adalah Saka, teman SMAnya dulu.
            “Aku dengar dari teman–teman katanya ada anak baru. Taunya kamu, hahaha.” Lelaki berbadan tinggi tegap itu tergelak.
            Sejurus kemudian mereka nampak tenggelam dalam obrolan yang mengasyikkan. Menyegarkan ingatan tentang hal – hal yang sempat dilalui bersama. Keduanya terlihat begitu gembira. Sesekali nampak tawa, dan juga kening yang berkerut, perpaduan unik dari apa yang diciptakan oleh kenangan.
 “Kamu masih sayang sama pacarmu itu?” Saka bertanya sambil mengaduk-aduk mangkuk soto pesanannya. Perbincangan kali ini dilanjutkan di kantin kantor saat jam makan siang.
“Masih. Tapi sepertinya memang ini yang terbaik. Kami memang sudah nggak cocok sejak lama,” Tasya tersenyum getir. Dadanya berdenyut, perih.
 “Oh, sorry,” Saka berkata lirih sambil menatap Tasya, sebuah tatapan yang akan membuat siapapun yang melihatnya meleleh.
“Nggak apa-apa. Udah ah, ngapain ngomongin mantan? Oiya, Risa, apa kabar? Udah lama banget aku nggak ketemu dia, sama sekali nggak ada kabar,” Tasya berbalik menatap Saka, mata mereka bersirobok, dan selalu ada rasa aneh yang tidak dia tahu namanya saat mata mereka bertemu.
“Baik, dia masih di Solo. Tapi akhir-akhir ini dia sibuk. Kami makin jarang komunikasi.” Mata elang Saka nampak menerawang jauh.
Percakapan itu tak lagi diteruskan. Mereka asyik dengan pikiran masing – masing. Hening. Tak lama terdengar nada dering dari ponsel Saka. Wajah lelaki berhidung mancung itu berubah  sesaat setelah mendengar pemilik suara dari seberang sana. Ada senyum tersungging dari sudut bibirnya yang tebal. Sepertinya Tasya bisa menebak siapa pemilik suara yang mampu membuat senyum Saka mengembang. Tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar di dadanya. Andai lelaki yang pernah dicintainya, yang sampai sekarang pun masih dicintainya, mau menghubungi saat ini.
“Dari Risa. Dia bilang mau ada urusan di Jakarta bulan depan,” Saka meletakkan benda persegi berwarna hitam itu di meja, ”Wah, lupa, seharusnya tadi aku bilang kalau ada kamu, pasti dia pengin banget ngobrol. Sudah dari beberapa waktu lalu, dia ngebet ketemu kamu, tunggu biar aku telepon dia lagi.”
“Sudah, nggak apa-apa. Biar jadi kejutan aja besok waktu dia kemari. Oke?” Saat berusaha mencegah Saka, tak sengaja tangan mereka bersinggungan, dan ada getar-getar muncul kembali yang dikira sudah terlupakan.
Kesibukan pekerjaan akhirnya membuat Tasya sedikit bisa melupakan Rendra. Namun saat malam tiba, biasanya kenangan itu muncul kembali. Ingatan yang pastinya sangat sulit untuk dilupakan. Untung ada Saka, lelaki itu dengan setia mau menemani, walau hanya sekadar berkeliling kota tanpa tujuan, demi mengusir galau hati Tasya. Perempuan itu sempat heran, mengapa dulu Risa sempat menolak Saka untuk berpacaran.
Andai saja Saka bukan kekasih Risa, yang juga adalah temannya, mungkin saat ini dia bisa jatuh hati. Mengingat dulu memang Tasya pernah menyukai Saka, bahkan sempat menuliskan puisi di mading sekolah, walau tanpa nama. Dia juga sempat mengirimkan surat tanpa nama, hanya inisial, setiap pagi di bangku Saka. Konyol memang saat itu. Tapi, Saka tak pernah menyadari hingga kini. Dan saat akhir kuliah, Tasya mengetahui Saka dan Risa berpacaran. Dan akhirnya pun, Tasya memilih untuk mencintai Rendra.
“Kok wajahmu kaya cucian kotor gitu sih? Lecek amat?” Tanya Tasya sembari menyodorkan minuman dingin kepada sosok lelaki di hadapannya.
“Kusut. Sama kayak otakku,” Saka merebahkan badannya di sandaran kursi. Gelas berisi minuman langsung tandas tak bersisa diminumnya.
“Kenapa lagi sih? Tentang Risa?” Tasya sambil membenahi posisi duduknya. Sepertinya dia sudah siap meluangkan waktu yang panjang mendengarkan curahan hati seorang kawan.
“Iya.” Jawab Saka pendek sambil menatap mata Tasya, dalam.
Beberapa kali kening Tasya berkerut. Hal – hal yang diceritakan Saka memang sepertinya bukan tentang Risa. Malah lebih kepada, dirinya? Hei.. Kenapa ini? Tasya memukul jidatnya. Dia terlalu banyak berhayal sepertinya. Ini tentang Risa. Siapa tahu memang ini sisi diri Risa yang tidak pernah Tasya ketahui. Tapi janggal memang. Risa, yang dikenalnya sebagai anak yang cuek dan tomboy, hampir tidak mungkin menulis puisi. Lagipula, kalaupun mereka putus, sungkan juga dia jadian sama mantan dari temannya.
Sejak curahan hati itu, Saka lebih banyak diam. Bahkan dia lebih suka menyendiri. Dia tidak mau mendekat, bahkan saat Tasya berusaha mendekatinya, dia menjauh. Dan akhirnya Tasya membiarkannya begitu. Mungkin Saka sedang membutuhkan ruang untuk berpikir. Apalagi ada hal yang lebih layak dipikirkan Tasya, yaitu e-mail dari Rendra semalam.
“Sak, bisa nggak nanti kamu temenin aku? Aku lagi pengin cari hiburan,” Tasya menggoncangkan bahu Saka yang sedang asyik berada di depan komputer.
“Aku nggak bisa hari ini. Lusa aja, aku temenin. Oke?! Aku jemput di kos seperti biasa.” Saka menjawab tanpa menoleh. Nada suaranya datar.
Tasya melenggang keluar dari kubikel milik Saka. Dia merasa ada yang berubah. Dia ingin bercerita banyak hal, tapi sepertinya Saka sedang sibuk. Tak apa, cerita ini bisa menunggu. Belum sempat terjawab rasa penasaran itu, ponsel Tasya bergetar. Wajahnya sumringah saat dia melihat nama yang tertera di layar. Rendra.
***
Jam delapan tepat, motor matic berwarna hitam sudah parkir dengan manis di depan tempat kos Tasya. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Saka. Tasya tersenyum, melihat Saka, dengan penampilan bersih, ada di depan pintu kosnya. Saka memang seperti itu, pakaiannya memang hanya T- shirt dan jeans biasa, tapi entah mengapa selalu terlihat pas dan rapi di badannya.
Tak banyak kalimat yang terucap sepanjang perjalanan. Ada segudang cerita yang ingin Tasya ceritakan, tapi dia juga tahu, ada cerita yang tak kalah banyak ingin Saka sampaikan padanya. Akhir-akhir ini hanya Saka yang selalu ada dalam pikiran Tasya. Dia sudah mencoba untuk menekan perasaan itu, namun semakin lama malah semakin dalam.
Cafe sederhana yang ada di lingkup daerah perkantoran itu terlihat sepi. Agak aneh memang. Biasanya di malam hari seperti ini pengunjung yang datang sangat padat. Tempat nongkrong yang terdiri dari dua lantai dengan sentuhan bangunan bergaya eropa itu memang cukup nyaman dijadikan tempat berkumpl. Saka membisikkan sesuatu kepada pelayan cafe yang kemudian mengantarkan mereka ke kebun belakang.
“Aku udah lama putus sama Risa,” sesaat setelah mereka duduk, Saka berucap. Dia mengatakan itu dengan mantap, tak nampak ada penyesalan di wajahnya. Bahkan, ada senyum kelegaan yang samar-samar terlihat dari sudut bibirnya.
“Lama? Tapi kenapa kamu malah seneng?” Tanya memandang Saka heran.
“Karena aku sadar, bukan dia yang selama ini aku cintai. Aku salah menilai, ada orang lain, yang ternyata sampai sekarang masih aku sayangi,” Saka tersenyum, kali ini senyumnya nampak sangat jelas. Senyum bahagia.
“Siapa?” ada nada kecewa dan sekaligus ingin tahu dari pertanyaan Tasya. Mungkinkah dia cemburu?
“Coba kamu lihat ke panggung di sebelah sana,” Saka menunjuk ke arah panggung musik yang tadinya kosong, sekarang penuh dengan orang-orang yang membawa spanduk.
Lidah Tasya terkunci rapat. Badannya seketika kaku. Pemandangan ini membingungkan. Perasaannya jadi campur aduk tak karuan. Risa? Mengapa Risa juga ada di sana? Dan tulisan itu? Diejanya berkali-kali tulisan yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak itu. “Tasya, would you be my soulmate?
***
Hingar bingar telah selesai. Tak ada lagi sedih, hanya tawa yang tersisa. Sebuah cincin emas putih melingkar di jari manis Tasya. Tak perlu lagi ada keraguan. Kesalahpahaman selama ini sudah terluruskan. Di seberang sana Risa nampak melambaikan tangan, yang dibalas Tasya dengan senyum dan anggukan kepala. Di sebelah Risa ada Bayu, pacarnya yang baru.
Saka menghampiri Tasya. Tatapan mata yang lembut itu sekarang telah menemukan pemiliknya. Semua seperti mimpi. Keinginan yang sudah lama terpendam tiba-tiba muncul di hadapan, dan nyata.
“Saka, aku masih nggak ngerti. Kenapa Risa sama Bayu? Lalu kenapa kamu yakin akulah orang yang kamu sukai itu. Trus...” berondong pertanyaan Tasya terhenti saat jari telunjuk Saka menempel di bibirnya.
“Aku dan Risa sudah putus sejak lama, Tasy. Kami putus sejak Risa bilang, bukan dia orang yang selama ini aku cari. Aku mencari orang yang selama ini menghujaniku dengan perhatian, yang tak pernah lelah memberiku semangat walau aku tak pernah bisa menemukannya,” Saka menjelaskan panjang lebar.
“Lalu, kenapa saat itu kamu bilang masih jalan dengan Risa?” Tasya masih tak paham.
“Aku nggak pernah bilang begitu kan? Saat pertama bertemu, kamu selalu hanya menanyakan kabarnya, bukan kabar hubungan kami,” Saka menggenggam jemari Tasya erat.
“Ini konspirasi ya? Kamu, Risa, Rendra?” Mata Tasya mendelik, ada sedikit kesal yang muncul karena hanya dia sendiri yang tidak tahu rencana ini. Rencana yang membuat perasaannya seperti roller coaster.
“Iya. Rendra sudah aku hubungi. Aku meminta izin padanya. Dan Rendra memperbolehkan. E-mail yang dia kirimkan padamu, yang mengatakan ada pria lain yang mencintaimu, aku yang memintanya. Maaf, Tasya. Aku hanya terlalu menyayangimu,” tatapan mata Saka serasa berkata untuk memohon maaf.
“Nggak, aku senang. Akhirnya kita bisa bersama. Sekarang aku nggak perlu lagi masang puisi di mading kantor, hanya biar kamu ngerti perasaanku,” Tasya tergelak.
Lebur sudah berbagai macam perasaan. Tak perlu lagi ada hal yang dilepaskan. Semua sudah bertemu, berkumpul di muaranya sendiri. Cerita yang baru saja dimulai. Jodoh memang tidak pernah ada yang tahu. Namun Tuhan menciptakan hati nurani, guna membimbing kita menemukan jalan yang sudah digariskanNya.
Kita semua adalah mantan. Mantan rekan kerja, mantan atasan, mantan bawahan, mantan pacar, dan mungkin, mantan teman. Tak ada yang benar-benar baru di dunia ini. Mungkin memang benar adanya, sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “mantan adalah jodoh orang lain yang sempat salah alamat.”