Tidak
ada yang pernah menyangka bagaimana sebuah pertemuan bisa terjadi. Skenario
apik yang tercipta dari tangan Sang Maestro kehidupan. Sebuah pertemuan adalah
awal dari banyak kisah yang beragam. Ada yang akhirnya berakhir bahagia, ada
pula yang tak sampai berakhir namun tak juga kunjung mulai.
Hari
itu Tasya mulai bekerja di kantor yang baru. Seharusnya ini menjadi hal yang
menyenangkan, mengingat terjun di dunia periklanan adalah cita – cita perempuan
berambut panjang itu sejak lama. Tetapi dengan bekerja di kantor ini berarti
Tasya harus pindah kota dan jauh dari Rendra, yang sampai kemarin masih menjadi
pacarnya.
Wajah
Tasya nampak muram, senyum yang sedikit dipaksakan seringkali menghiasi
bibirnya yang mungil. Guratan kesedihan masih terpancar dari parasnya yang ayu.
Pergolakan mengisi batinnya. Berkali – kali terlihat dia mendesah lirih. Dia masih
mencintai Rendra, teman SMA-nya yang juga adalah lelaki yang sudah dipacarinya
sejak setahun lalu, tetapi dia juga sangat menyukai dunia yang digelutinya
sekarang.
Masih
jelas diingatannya tentang pertengkaran kemarin, sesaat sebelum Tasya berangkat
menuju Jakarta. Di bandara, kata putus itu terucap. Mereka berdua sama – sama keras
dengan pendirian. Tasya ingin berkembang dalam kariernya, sementara Rendra
tidak pernah mau menjalin hubungan jarak jauh. Akhirnya, kisah asmara itu
kandas juga.
***
“Tasya?” Sebuah suara membuyarkan
lamunan Tasya.
“Saka?” Seketika senyum Tasya
mengembang saat mengetahui pemilik suara itu adalah Saka, teman SMAnya dulu.
“Aku dengar dari teman–teman katanya
ada anak baru. Taunya kamu, hahaha.” Lelaki berbadan tinggi tegap itu tergelak.
Sejurus kemudian mereka nampak
tenggelam dalam obrolan yang mengasyikkan. Menyegarkan ingatan tentang hal –
hal yang sempat dilalui bersama. Keduanya terlihat begitu gembira. Sesekali
nampak tawa, dan juga kening yang berkerut, perpaduan unik dari apa yang
diciptakan oleh kenangan.
“Kamu masih sayang sama pacarmu itu?” Saka
bertanya sambil mengaduk-aduk mangkuk soto pesanannya. Perbincangan kali ini
dilanjutkan di kantin kantor saat jam makan siang.
“Masih.
Tapi sepertinya memang ini yang terbaik. Kami memang sudah nggak cocok sejak
lama,” Tasya tersenyum getir. Dadanya berdenyut, perih.
“Oh, sorry,”
Saka berkata lirih sambil menatap Tasya, sebuah tatapan yang akan membuat
siapapun yang melihatnya meleleh.
“Nggak
apa-apa. Udah ah, ngapain ngomongin mantan? Oiya, Risa, apa kabar? Udah lama
banget aku nggak ketemu dia, sama sekali nggak ada kabar,” Tasya berbalik
menatap Saka, mata mereka bersirobok, dan selalu ada rasa aneh yang tidak dia
tahu namanya saat mata mereka bertemu.
“Baik,
dia masih di Solo. Tapi akhir-akhir ini dia sibuk. Kami makin jarang
komunikasi.” Mata elang Saka nampak menerawang jauh.
Percakapan
itu tak lagi diteruskan. Mereka asyik dengan pikiran masing – masing. Hening.
Tak lama terdengar nada dering dari ponsel Saka. Wajah lelaki berhidung mancung
itu berubah sesaat setelah mendengar pemilik
suara dari seberang sana. Ada senyum tersungging dari sudut bibirnya yang tebal.
Sepertinya Tasya bisa menebak siapa pemilik suara yang mampu membuat senyum
Saka mengembang. Tiba-tiba ada rasa sakit yang menjalar di dadanya. Andai
lelaki yang pernah dicintainya, yang sampai sekarang pun masih dicintainya, mau
menghubungi saat ini.
“Dari
Risa. Dia bilang mau ada urusan di Jakarta bulan depan,” Saka meletakkan benda
persegi berwarna hitam itu di meja, ”Wah, lupa, seharusnya tadi aku bilang
kalau ada kamu, pasti dia pengin banget ngobrol. Sudah dari beberapa waktu
lalu, dia ngebet ketemu kamu, tunggu biar aku telepon dia lagi.”
“Sudah,
nggak apa-apa. Biar jadi kejutan aja besok waktu dia kemari. Oke?” Saat
berusaha mencegah Saka, tak sengaja tangan mereka bersinggungan, dan ada getar-getar
muncul kembali yang dikira sudah terlupakan.
Kesibukan
pekerjaan akhirnya membuat Tasya sedikit bisa melupakan Rendra. Namun saat
malam tiba, biasanya kenangan itu muncul kembali. Ingatan yang pastinya sangat
sulit untuk dilupakan. Untung ada Saka, lelaki itu dengan setia mau menemani,
walau hanya sekadar berkeliling kota tanpa tujuan, demi mengusir galau hati
Tasya. Perempuan itu sempat heran, mengapa dulu Risa sempat menolak Saka untuk
berpacaran.
Andai
saja Saka bukan kekasih Risa, yang juga adalah temannya, mungkin saat ini dia
bisa jatuh hati. Mengingat dulu memang Tasya pernah menyukai Saka, bahkan
sempat menuliskan puisi di mading sekolah, walau tanpa nama. Dia juga sempat
mengirimkan surat tanpa nama, hanya inisial, setiap pagi di bangku Saka. Konyol
memang saat itu. Tapi, Saka tak pernah menyadari hingga kini. Dan saat akhir
kuliah, Tasya mengetahui Saka dan Risa berpacaran. Dan akhirnya pun, Tasya
memilih untuk mencintai Rendra.
“Kok
wajahmu kaya cucian kotor gitu sih? Lecek amat?” Tanya Tasya sembari
menyodorkan minuman dingin kepada sosok lelaki di hadapannya.
“Kusut.
Sama kayak otakku,” Saka merebahkan badannya di sandaran kursi. Gelas berisi
minuman langsung tandas tak bersisa diminumnya.
“Kenapa
lagi sih? Tentang Risa?” Tasya sambil membenahi posisi duduknya. Sepertinya dia
sudah siap meluangkan waktu yang panjang mendengarkan curahan hati seorang
kawan.
“Iya.”
Jawab Saka pendek sambil menatap mata Tasya, dalam.
Beberapa
kali kening Tasya berkerut. Hal – hal yang diceritakan Saka memang sepertinya
bukan tentang Risa. Malah lebih kepada, dirinya? Hei.. Kenapa ini? Tasya
memukul jidatnya. Dia terlalu banyak berhayal sepertinya. Ini tentang Risa.
Siapa tahu memang ini sisi diri Risa yang tidak pernah Tasya ketahui. Tapi janggal
memang. Risa, yang dikenalnya sebagai anak yang cuek dan tomboy, hampir tidak
mungkin menulis puisi. Lagipula, kalaupun mereka putus, sungkan juga dia jadian
sama mantan dari temannya.
Sejak
curahan hati itu, Saka lebih banyak diam. Bahkan dia lebih suka menyendiri. Dia
tidak mau mendekat, bahkan saat Tasya berusaha mendekatinya, dia menjauh. Dan
akhirnya Tasya membiarkannya begitu. Mungkin Saka sedang membutuhkan ruang
untuk berpikir. Apalagi ada hal yang lebih layak dipikirkan Tasya, yaitu e-mail
dari Rendra semalam.
“Sak,
bisa nggak nanti kamu temenin aku? Aku lagi pengin cari hiburan,” Tasya
menggoncangkan bahu Saka yang sedang asyik berada di depan komputer.
“Aku
nggak bisa hari ini. Lusa aja, aku temenin. Oke?! Aku jemput di kos seperti
biasa.” Saka menjawab tanpa menoleh. Nada suaranya datar.
Tasya
melenggang keluar dari kubikel milik Saka. Dia merasa ada yang berubah. Dia
ingin bercerita banyak hal, tapi sepertinya Saka sedang sibuk. Tak apa, cerita
ini bisa menunggu. Belum sempat terjawab rasa penasaran itu, ponsel Tasya
bergetar. Wajahnya sumringah saat dia melihat nama yang tertera di layar.
Rendra.
***
Jam
delapan tepat, motor matic berwarna hitam sudah parkir dengan manis di depan
tempat kos Tasya. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Saka. Tasya tersenyum,
melihat Saka, dengan penampilan bersih, ada di depan pintu kosnya. Saka memang
seperti itu, pakaiannya memang hanya T- shirt dan jeans biasa, tapi entah
mengapa selalu terlihat pas dan rapi di badannya.
Tak
banyak kalimat yang terucap sepanjang perjalanan. Ada segudang cerita yang
ingin Tasya ceritakan, tapi dia juga tahu, ada cerita yang tak kalah banyak
ingin Saka sampaikan padanya. Akhir-akhir ini hanya Saka yang selalu ada dalam
pikiran Tasya. Dia sudah mencoba untuk menekan perasaan itu, namun semakin lama
malah semakin dalam.
Cafe
sederhana yang ada di lingkup daerah perkantoran itu terlihat sepi. Agak aneh
memang. Biasanya di malam hari seperti ini pengunjung yang datang sangat padat.
Tempat nongkrong yang terdiri dari dua lantai dengan sentuhan bangunan bergaya
eropa itu memang cukup nyaman dijadikan tempat berkumpl. Saka membisikkan
sesuatu kepada pelayan cafe yang kemudian mengantarkan mereka ke kebun belakang.
“Aku
udah lama putus sama Risa,” sesaat setelah mereka duduk, Saka berucap. Dia
mengatakan itu dengan mantap, tak nampak ada penyesalan di wajahnya. Bahkan, ada
senyum kelegaan yang samar-samar terlihat dari sudut bibirnya.
“Lama?
Tapi kenapa kamu malah seneng?” Tanya memandang Saka heran.
“Karena
aku sadar, bukan dia yang selama ini aku cintai. Aku salah menilai, ada orang
lain, yang ternyata sampai sekarang masih aku sayangi,” Saka tersenyum, kali
ini senyumnya nampak sangat jelas. Senyum bahagia.
“Siapa?”
ada nada kecewa dan sekaligus ingin tahu dari pertanyaan Tasya. Mungkinkah dia cemburu?
“Coba
kamu lihat ke panggung di sebelah sana,” Saka menunjuk ke arah panggung musik
yang tadinya kosong, sekarang penuh dengan orang-orang yang membawa spanduk.
Lidah
Tasya terkunci rapat. Badannya seketika kaku. Pemandangan ini membingungkan.
Perasaannya jadi campur aduk tak karuan. Risa? Mengapa Risa juga ada di sana? Dan
tulisan itu? Diejanya berkali-kali tulisan yang membuat jantungnya seakan
berhenti berdetak itu. “Tasya, would you be my soulmate?”
***
Hingar
bingar telah selesai. Tak ada lagi sedih, hanya tawa yang tersisa. Sebuah
cincin emas putih melingkar di jari manis Tasya. Tak perlu lagi ada keraguan.
Kesalahpahaman selama ini sudah terluruskan. Di seberang sana Risa nampak
melambaikan tangan, yang dibalas Tasya dengan senyum dan anggukan kepala. Di
sebelah Risa ada Bayu, pacarnya yang baru.
Saka
menghampiri Tasya. Tatapan mata yang lembut itu sekarang telah menemukan
pemiliknya. Semua seperti mimpi. Keinginan yang sudah lama terpendam tiba-tiba
muncul di hadapan, dan nyata.
“Saka,
aku masih nggak ngerti. Kenapa Risa sama Bayu? Lalu kenapa kamu yakin akulah
orang yang kamu sukai itu. Trus...” berondong pertanyaan Tasya terhenti saat
jari telunjuk Saka menempel di bibirnya.
“Aku
dan Risa sudah putus sejak lama, Tasy. Kami putus sejak Risa bilang, bukan dia
orang yang selama ini aku cari. Aku mencari orang yang selama ini menghujaniku
dengan perhatian, yang tak pernah lelah memberiku semangat walau aku tak pernah
bisa menemukannya,” Saka menjelaskan panjang lebar.
“Lalu,
kenapa saat itu kamu bilang masih jalan dengan Risa?” Tasya masih tak paham.
“Aku
nggak pernah bilang begitu kan? Saat pertama bertemu, kamu selalu hanya
menanyakan kabarnya, bukan kabar hubungan kami,” Saka menggenggam jemari Tasya
erat.
“Ini
konspirasi ya? Kamu, Risa, Rendra?” Mata Tasya mendelik, ada sedikit kesal yang
muncul karena hanya dia sendiri yang tidak tahu rencana ini. Rencana yang
membuat perasaannya seperti roller
coaster.
“Iya.
Rendra sudah aku hubungi. Aku meminta izin padanya. Dan Rendra memperbolehkan.
E-mail yang dia kirimkan padamu, yang mengatakan ada pria lain yang
mencintaimu, aku yang memintanya. Maaf, Tasya. Aku hanya terlalu menyayangimu,”
tatapan mata Saka serasa berkata untuk memohon maaf.
“Nggak,
aku senang. Akhirnya kita bisa bersama. Sekarang aku nggak perlu lagi masang
puisi di mading kantor, hanya biar kamu ngerti perasaanku,” Tasya tergelak.
Lebur
sudah berbagai macam perasaan. Tak perlu lagi ada hal yang dilepaskan. Semua
sudah bertemu, berkumpul di muaranya sendiri. Cerita yang baru saja dimulai.
Jodoh memang tidak pernah ada yang tahu. Namun Tuhan menciptakan hati nurani,
guna membimbing kita menemukan jalan yang sudah digariskanNya.
Kita semua adalah
mantan. Mantan rekan kerja, mantan atasan, mantan bawahan, mantan pacar, dan
mungkin, mantan teman. Tak ada yang benar-benar baru di dunia ini. Mungkin
memang benar adanya, sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “mantan adalah jodoh
orang lain yang sempat salah alamat.”