Senin, 21 April 2014

Sebuah Surat Kepada Masa

Aku tak pernah benar-benar ingin memutar tubuhmu, Masa, hingga beberapa waktu yang lalu. Kau kasat mata, tak bisa aku tuntut maupun aku minta pertanggungjawaban. Tapi bolehkah aku mengeluh sebentar saja pada sosokmu yang memeluk diriku terlalu kencang? Kau mampu terbang begitu cepat, meninggikan yang rendah, mendewasakan yang muda, meninggalkan yang terlambat dan tak menunggu mereka yang tak bergerak cepat. Tapi, Masa, taukah kau bahwa kali ini aku merasa bahan olok-olokmu terlalu kejam?


Kau tahu, sampai saat ini kau tahu, Masa, ini semua tentang siapa. Ya. Dia, yang datang tiba-tiba setelah sekian lama tak jumpa. Dia yang dulu aku tahu hanya sebuah nama, pribadi yang tak terjamah hati dan pikirannya Tapi kini, Masa, kau menelisikkan begitu banyak cinta di saat orang-orang lain sudah berada di peraduannya sementara kami terjaga. Kau di sana, Masa. Kau tahu, bagaimana kami saling menemukan, membasuh diri kami yang selama ini gersang dan seperti tak bernyawa. Tapi kau menari di atas semua yang terjadi. Kau memegang kendali, karena pada akhirnya kaulah yang mampu mengambil semuanya kembali. 


Masa, izinkan aku menjadi pujangga abal-abal yang hanya mampu menulis roman picisan kali ini, atau malah berkali-kali lagi. Aku hanya ingin meminjam apa yang kau beri padaku untuk bisa menyanjungnya. Sekecil mungkin waktu yang kau berikan, aku tak akan meminta lebih banyak. Mungkin aku tak terlalu bahkan memang tidak pandai untuk mengungkapkan, tapi apapun akan aku lakukan, selama aku bisa untuk menyayanginya.


Andai kau datang lebih cepat, Masa. Dua tahun saja. Dua tahun tidak lebih lambat. Mungkin hari-hari ini tak ada lagi saat merenungi apa yang akan hilang dan terganti. Mungkin hari-hari ini, kau bersama kami, melantunkan bait-bait puisi, melepaskan energi surgawi, mencintai lebih dan lebih dalam lagi.


Ataukah sebenarnya kau sudah menyapa kami jauh sebelum dua tahun lalu, Masa? Apa yang kau pakai hingga kami tak mengenalimu? Kesenangan masa muda kah itu? Kesempatan yang terlewat? Atau malah kau memakai kepolosan, hingga kami tak tahu cara untuk bertegur sapa?


Kami punya cinta yang lebih, Masa. Saat kami saling berbagi, semua tak semakin berkurang, tapi malah semakin bertambah. Kami saling menemukan. Kami saling tak ingin kehilangan. Tapi kami juga tak ingin akhirnya saling menimpakan kesalahan. Karena, kau tahu. Dia, bidadari cantik, peri kecilnya itu dan sebuah istana yang seperti surga. Sementara aku, bidadari bersayap satu yang mencari cara untuk terbang tinggi dan yang masih terus mencari pasangan sayap yang mungkin masih terbawa oleh seorang kSatria. Kami pada akhirnya, berbeda dunia. Perjalanan yang akan membentur tembok.


Masa, biar bagaimanapun, aku tak ingin menyalahkanmu yang sudah mempertemukan kami. Kau pernah berkata, kadang seseorang memang ditempatkan, tinggal dalam hidup kita untuk sebentar saja. Untuk memberi kesan. Sebuah kenangan untuk diingat. Aku akan belajar darimu tentang hal itu, Masa. Tapi, jangan hentikan aku untuk mencintai. Tetaplah diam di sini. Dan ketika kau ambil waktunya, pegang erat tanganku, katakan semua akan baik-baik saja, dan aku akan mengamininya.


Dan kepadamu, pecandu rinduku, jika nanti saatnya tiba, lepaslah aku layaknya merpati yang akhirnya terbang tinggi. Kau akan relakan pencuri hatimu ini pergi, bukan? Walau aku berharap bisa kembali. Andai....

Jika cinta, jadilah semesta. Meretaslah menjadi udara yang dihirupnya untuk bernyawa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar