Kamis, 19 Januari 2017

My Historical Moment

Apakah kamu nebak bahwa postingan berikut bakalan pakai bahasa Inggris? Nah! I pranked you. Besok kalau Saya punya pacar teman ngobrol orang bule kayaknya baru Saya bisa fasih pakai bahasa Inggris deh. Selama ini nggak ada partner buat bisa tik-tok gitu, padahal sebetulnya ya karena malas. Alasan kenapa judulnya pake enggres? Biar pendek aja gitu *ditampol sandal

Eh, lha kok malah curcol masalah kemampuan berbahasa sih? Back to the real topic ya, Gaes. Hari ini masuk hari kedua #writtingchallenge dari #KampusFiksi. Dan tema yang musti ditulis adalah tiga hal yang bisa membuat histeris.

Tema ini lumayan berat, walau nggak sebanding dengan berat badan yang nambah lima kilo dalam setahun belakangan ini. Kenapa? Karena Saya cuma punya sedikit memori tentang momen-momen yang membuat Saya histeris, bahkan waktu dilamar juga nggak histeris. Dan menyedihkannya adalah, momen histeris yang paling lekat di ingatan adalah kenangan buruk.

The most histerical moment in my life was when I got a phone saying that my brother passed away. Saya ingat betul, hari itu jam 8 malam, 2 Februari 2012. Berita itu membuat tulang serasa tercabut, Saya lemas, terduduk di lantai kamar, dengan hp yang masih saya genggam erat-erat. Saya menangis sejadi-jadinya. Baru kali itu Saya memekik.

Dada Saya berlobang. Lobang besar yang nggak akan pernah bisa ditutup lagi. Seperti black hole, lobang itu menyerap kesadaran dan kekuatan. Bahkan buat nyampain berita bahwa adik kecil yang saat itu berusia sebelas tahun udah nggak ada ke anggota keluarga lain, susah banget, Saya nggak punya kosakata untuk diucapkan waktu itu. Yes, cancer took our lil’ angel away from our sight, but not from our heart. Nah, kan, nangis lagi Saya. Baiklah, let’s move to another histerical moment, daripada nanti Saya termehek-mehek nggak jelas.

Momen selanjutnya itu waktu Saya lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Histerisnya campur antara kaget, sedih dan senang. Kaget, karena Saya nggak benar-benar ngerjain soal, malam sebelumnya aja Saya malah masih baca novel sampai larut, nggak belajar sama sekali. Serius, ini murni kasih karunia Tuhan, bukan karena Saya jenius. Sedih, karena Saya penginnya kuliah di Jogja, udah daftar juga. Senang, karena ya berarti Saya orang terpilih, berhasil mengalahkan saingan yang bejibun. Iya, Saya sombong bener.

Kayaknya cuma dua itu momen Saya bisa benar-benar histeris. Andai ada satu lagi, mungkin adalah kalau nanti bisa lolos audisi Indonesia’s Got Talent. Serius, Saya pasti bakalan histeris sejadi-jadinya. Tapi itu baru wacana sih. Saya bingung mau nunjukin bakat apa. Nyanyi, suara saya banyakan fals-nya. Nari, nggak banget, orang Saya gerak dikit aja badan udah pegel-pegel. Sulap? Oke, ini berarti bunuh diri. Saya cuma bisa masak dan nulis. Kalau mau ikut Master Chef, kemampuan Saya memasak hanya akan membawa ke babak penyisihan. Untuk kemampuan yang terakhir, silakan kalian nilai dari isi tulisan di blog ini. Cukup (nggak) meyakinkan?

Akh, sudahlah. Bagian terpenting dari semua ini adalah di balik semua momen histeris, selalu ada orang-orang terkasih yang menemani menjalaninya, sungguh itu bagian terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar