Selasa, 31 Desember 2013

Ada Cinta Di Langit Jakarta

Sebuah kesempurnaan selalu menjadi tujuan akhir setiap manusia. Tidak pernah ada yang ingin hidupnya berantakan, ataupun terlihat tidak sempurna. Semua harus telihat tanpa cela. Kadang banyak yang mengabaikan cinta ataupun malah mempermainkannya. Tak banyak yang percaya bahwa cinta bisa membawa bahagia. Untuk itulah semua mengandalkan segala cara agar bahagia, atau paling tidak agar terlihat sepertinya bahagia, selain dengan cinta.
“Kittyyyyy, hey how’s life?” sapa sebuah suara dengan girangnya.
“Siapa sih nih?” jawab seorang wanita masih dengan setengah kesadaran.
“Lo lupa sama suara gue? Kita nggak temenan lagi. Oke, bye!”
Klik.. Sambungan terputus.
Dengan masih berusaha mengumpulkan nyawa, wanita itu memperbaiki posisi tubuhnya. Dahinya mengernyit. Dengusan napasnya terdengar rendah, mencoba mengingat suara yang tadi membangunkan tidur nyenyak yang baru saja dia dapatkan dalam waktu setengah jam.
“Ckck, ini anak nggak berubah,” cibirnya, namun wajahnya terlihat lebih cerah sambil menatap layar ponselnya. Sejurus kemudian kuku lentiknya yang dihiasi bebatuan indah hasil nail art, sibuk menjelajahi folder kontak dan mencari sebuah nama, “Heh, Chubby. Kenapa lo telepon gue?”
“Aaakkkhhh, Diva, gue udah nggak chubby. Selama di sini gue udah turun sepuluh kilo tau! Eh, lupakan tentang berat badan. Lo lagi ngapain sekarang?”
“Deana Ivanova, elo tanya gue lagi apa sekarang? Gue lagi berenang! Giling lo ya, emang jam dua pagi harusnya gue ngapain?” dengus wanita yang disebut Diva itu kesal.
“Hahahahaha, oh iya, sorry. Di Roma masih sore, Sayang. Hahahaha.. Betewe, biasanya juga lo jam segini masih kerja deh. Nggak ada show ya?”
“Nggak, gue lagi cuti. Udah deh, gue nggak suka basa-basi, Na. Ngapain lo telepon gue jam segini? Lo nggak cuma mau nanya kabar gue kan?”
“Dih, gitu banget sih lo, Div. Mentang-mentang udah jadi model terkenal. Lo nggak kangen apa sama gue?
Hening..
“Dih, iya, iya. Nggak usah pake acara ngambek gitu. Lo ini ya, dari dulu nggak berubah,” suara di seberang sana terdengar menarik napas dalam, “Gue bulan depan mau balik Jakarta...!!! Mau liburan. Jemput gue di bandara ya?! Gue  mau lihat photoshoot lo, mau ke klub lagi, gila-gilaan sampai pagi. Oiya, sama ada yang musti gue ceritain. Ya, Div? Div....? Diva lo nggak lagi molor, kan? Diva? Divaaaaaaaaaa...”
***
Sinar mentari sudah mulai membelai manja dedaunan. Hangatnya mampu menggeliatkan semangat yang sejak semalam dibuai dingin udara bulan Desember. Diva masih terpejam di king size bed-nya, namun kesadarannya perlahan mulai utuh. Dia masih teringat sepenggal percakapan semalam bersama Deana, sahabatnya yang sejak lulus SMP pindah mengikuti orang tuanya ke Eropa.
Dengan sedikit malas, Diva merambat pelan menuruni tempat tidur. Disambarnya sebuah laptop berwarna hitam yang sedari kemarin ada di sisinya dan menuju ke balkon. Digesernya perlahan pintu kaca yang membatasi dirinya dengan pemandangan asri di luar kamar. Langkah kaki jenjangnya menuntun menuju single sofa yang ada di balkon apartemen.
Nyebelin lo, Div. Gue udah berbusa karena saking semangatnya ngomong, eh lo-nya molor. Bulan depan gue balik. Gue nggak mau tau, Div, lo musti cerita kenapa lo PUTUS lagi entah untuk yang ke berapa kalinya ini. Inget ya, jangan songong!! Lo udah TUA, Div. Jangan keenakan kerja, lo musti mikir pasangan hidup juga. Oiya, satu lagi. Gue setuju perjodohan yang gue ceritain tempo hari. Besok gue jelasin. Oke?! C u, Kitty. Smooch.. smooch..
E-mail dari Deana.
Dikirim sesaat setelah pembicaraan mereka terputus semalam. Diva mengacak rambutnya yang kemerahan hingga membuatnya kusut seperti sarang burung. Kedatangan wanita periang itu ke Jakarta tentu akan membahagiakan, mengingat mereka cukup lama tidak bertemu. Deana juga bisa menemaninya di apartemen, karena sejak hijrah di Jakarta memang Diva menempati apartemen di Jakarta Pusat itu sendirian.. Namun, kemunculan sahabat masa kecilnya itu juga akan membawa teror tersendiri. Teror untuk membawanya ke dalam pusaran keputusan paling pelik. Melepas masa lajang.
***
Diva masih berkutat di depan laptop setelah membalas e-mail dari Deana, juga beberapa e-mail dari klien. Keperfeksionisan Diva membuat acara cuti yang seharusnya bisa mengembalikan semangat, hanya menjadi sebuah acara tanpa makna. Pikirannya terus saja berlarian ke pekerjaan.
“Bunny, aku nggak bisa. Aku musti prepare buat pemotretan sama majalah Best Life sebentar lagi. Lagian aku ada acara juga barengan teman-teman agensi buat pesta di Bali pas tahun baru,” Diva masih saja memandangi layar berukuran empat belas inchi di hadapannya tanpa menggubris sosok cowok berhidung mancung di sampingnya. Perhatiannya masih tertuju pada beberapa foto dirinya yang akan dimasukkan ke dalam composite card.
“Kamu harus datang ke acara pesta itu ya? Kita kan udah sepakat kalau tahun ini mau ngerayain tahun baru di rumahku sama mama-papa,” cowok berkulit putih itu mencoba bersabar menghadapi kekasihnya yang memang keras kepala.
“Itu sebelum aku dapat undangan. Ketemu ortumu kan bisa setiap waktu. Kalau gathering besok itu langka. Ada banyak model terkenal serta perancang busana kelas internasional yang datang. Ini bakalan jadi jembatan buat karierku.”
Cowok berwajah tampan itu menghela napas. “Kita nggak pernah tahun baruan sama-sama selama ini. Tapi ya sudahlah. Ini, aku bawakan makanan. Kamu belum makan kan dari tadi?”
“Bunny.. Ini udah yang keberapa kali kamu bawa makanan tinggi kalori dan lemak kayak gini? Tiga bulan lagi bakalan ada audisi Indonesia’s Next Top Model, dan aku nggak mau usaha kerasku selama ini sia-sia cuma gara-gara masakan sialan ini!”
“Tapi aku masakin ini buat kamu, Hunny.”
“Nggak peduli. Aku masih mau diet. Stop forcing me! Kamu emang nggak suka kan kalau aku jadi model? Kamu egois tau nggak? Kamu bawel banget akhir-akhir ini dan kamu tau aku benci itu!”
“Bukan begitu, Sayang. Aku cuma...”
“Garry, dengerin baik-baik. Aku mau kita putus!”
“Tapi, Hunny. Aku...”
“Stop! Aku nggak mau ada orang yang ngehalangin jalanku buat jadi model. Termasuk kamu!”
Kenangan bersama seorang lelaki bertubuh gempal itu masih sering terlintas di benak Diva. Percakapan terakhir itu begitu membekas. Percakapan beberapa tahun yang lalu, yang menyisakan tanda tanya besar di hati, mempertanyakan kepatutan keputusannya. But life goes on. Begitu selalu Diva menghibur diri. Tidak ada gunanya menengok masa lalu. Namun tidak bisa dipungkiri, belum ada lelaki lain yang mampu mengisi kekosongan hatinya sejak saat itu.
Lelaki bertubuh gempal itu selalu berusaha memberikan yang terbaik. Cenderung protektif, tapi di sisi lain hanya mengharapkan bisa memberikan kenyamanan untuk seorang Diva Rajendra. Menjaganya dari hal buruk dunia modelling. Namun, maksud baik belum tentu dapat diterima dengan baik. Diva merasa lelaki yang menemani perjalanan cintanya selama lima tahun itu mengekang jalannya. Dan akhirnya, perpisahan menjadi jalan, yang menurut wanita bermata bulat itu, terbaik
Kini matanya yang cekung karena kurang tidur hanya menatap nanar ke arah layar sebesar empat belas inchi tersebut. Lama dia tertegun. Memandang sebuah gambar yang sampai sekarang masih terpampang menjadi background dari laptopnya. Foto dirinya dan seseorang.
***
Being single is not a crime, Puppy. Gue masih mau ngejar karier gue dulu. Target gue adalah jadi model internasional. Gue pengin bisa melenggak-lenggok di atas runway Milan fashion week. Cinta itu urusan ke sekian,” Diva memijit kakinya yang pegal setelah berjalan gemulai ala kucing menggunakan high heels dalam sebuah peragaan busana desainer lokal ternama.
“Umur lo udah mau tiga puluh, Div. Oke, nikah emang nggak boleh semata-mata karena umur, tapi bukan berarti lo nggak mikirin itu, kan? Just try to push yourself a little hard, Beib. But must of all, open your heart. That’s the key. Nggak selamanya kita bisa hidup sendiri,” Deana berkomentar sembari mengamati setiap model di sekitarnya yang tinggi menjulang, dia sudah tidak kaget melihat para model itu telanjang sembarangan untuk berganti baju.
Well, yeah, bukannya anti nikah juga sih, cuman gue belum nemu pasangan yang sempurna buat gue. Oh, come on, I’ll marry someone sooner or later. Darling, you know that I’m working on it,” ucap Diva sembari menenggak sebotol smirnoff dari dalam tasnya.
“Sempurna? Kitty, you are exagerrating it! Lo terlalu perfeksionis dalam hal cari pasangan. Nggak ada cowok di dunia ini yang sempurna, Div. Oh, sorry, gue ralat. Cuma ada satu cowok yang sempurna di dunia ini, dan namanya Edo,” ucap Deana sambil menyunggingkan senyum, setelah menyebutkan nama calon suaminya.
“Jadi maksud lo, gue musti nikah sama Edo? Jadi istri keduanya setelah lo?
“Divaaaaaaa....”
“Iya, gue bercanda. Gue cuma ngerasa belum ketemu yang pas aja, Na.”
“Berapa cowok lagi yang bakalan lo jadiin koleksi dalam folder mantan, Div? Atau jangan-jangan, lo sebenarnya masih nggak bisa move on dari siapa tuh, Gera atau Garry siapalah itu namanya.”
“Na, plis. Garry itu masa lalu. Udah ah. Eh, tapi serius deh. Apa nggak kecepetan sih lo nerima Edo? Apalagi ini lewat perjodohan! Ampun. Hari gini? Plis deh, Na!” bibir sensual Diva mengerucut.
“Lho, emang kenapa? Ortu gue pasti udah pertimbangin bibit, bobot dan bebetnya, jadi pasti Edo itu yang terbaik. Lagian dia ganteng, dan gue suka,” Na membela diri.
“Ganteng? Gue ragu sama ganteng versi lo, Na. Ups, sorry, Hahahahaha.. Trus lo yakin Edo juga suka sama lo?”
***
Terkadang Diva memang boleh dikata iri dengan kehidupan Na yang selalu lancar-lancar saja. Lahir dari keluarga kaya, cantik, berpendidikan, dan kini akan menikah dengan seorang lelaki yang memang bisa dikata pujaan. Beda dengan dirinya yang musti berjuang untuk apa saja, termasuk menjadi seorang model seperti sekarang.
 Berkat usaha keras Deana yang tidak hentinya mencekoki Diva dengan ceramah, akhirnya wanita berlesung pipi itu luluh juga. Di tengah hari yang sedang terik-teriknya, Diva memutuskan mengirimkan sebuah e-mail kepada Garry, lelaki gempal yang pernah singgah di hatinya.
“Biarpun gendut, dia cinta sama lo apa adanya, Div,” Deana tersenyum penuh kemenangan, “lagian apa salahnya jadi gendut sih?”
“Bukan fisik yang gue lihat, Na. Tapi gue cuma nggak suka caranya larang-larang gue buat ini itu. Atau pun nyuruh gue makan dan lain-lain,” dengus Na kesal.
“Kalau dia nggak larang, lo waktu itu udah ketipu jutaan rupiah karena salah masuk agensi. Trus lagi, kalau dia nggak maksa lo makan, gue yakin anoreksia lo bakalan kambuh lagi. Walau nggak pernah ketemu dan sama sekali nggak tahu wajahnya kayak gimana, gue percaya, si Garry itu orang baik dan dia cinta banget sama lo,” Deana berargumen dengan berapi-api. Seakan perkataannya adalah titah yang harus diamini kebenarannya.
“Akh, nggak ngerti deh. Tuh udah gue kirim e-mailnya. Dan nggak usah berharap Garry masih mau kontak gue lagi. Gue yakin dia sakit hati sama gue,” Diva mencibir.
***
            Dewi cinta nampaknya mulai menaungi Diva kembali. Garry menyambut e-mail yang dikirimkan Diva. Namun, segurat kegundahan muncul di benak Diva. Garry sudah berubah. Sudah tidak ada lagi “aku” dan “kamu”, semua berganti dengan “lo” dan “gue”. Walaupun mereka hanya bertukar e-mail, namun Diva merasa Garry sudah jauh berbeda dari sosok yang dikenalnya dahulu. Cenderung lebih dingin dan misterius.
Semakin lama, Diva merasa dia merindukan sosok Garry yang dulu. Mungkin memang ini salahnya, menghilangkan cinta yang besar dan menggantinya dengan sakit hati. Siapa orang yang tidak akan berubah jika diperlakukan seperti itu? Kali ini, Diva bertekad untuk meminta maaf dan mencurahkan segala perasaannya di atas surat elektronik.
Tak ada cukup banyak waktu. Lusa dia akan mengikuti peragaan busana di Milan. Dia memutuskan untuk memenuhi tawaran Ghea Panggabean menjadi modelnya dalam pagelaran busana Treasure of Indonesia, kerjasama antara Indonesia dan Italia yang digagas oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia di Roma. Jika pun Garry menolaknya, paling tidak Diva lega, Garry tahu perasaannya.
Email sent.
Dan bersamaan dengan terkirimnya email Diva, datang pula sebuah email yang lain.
            New email
            Hei, Div. Sorry, gue kemarin sibuk ngurusin kuliah. Jadi sempat nggak bisa kasih kabar ke lo. Gue udah lulus nih. Hahahaha.. And you know what? Gue udah balik Jakarta sekarang. Besok kita ketemuan ya. Gue mau cerita ke lo nih. Tentang perjodohan tempo hari yang belum sempat gue jelasin. Ini, gue kasih sekalian fotonya. Tapi sorry agak blur, maklum agak shake pas motret. Gimana? Cocok nggak? Gue mau denger pendapat lo yang unik. Gue bingung soalnya tentang dia. Lo masih di apartemen lo yang lama kan? Besok siang gue ke sana ya, Jam 1. Bisa kan? Gue tunggu kabarmu. See ya, tomorrow.
            Perjodohan? Hati Diva mencelus. Tapi dicobanya untuk sedikit berpikiran positif. Sembari menunggu file foto kiriman dari Garry terunduh sempurna, Diva memutuskan untuk memakan kebab yang sedari tadi hanya terpajang manis di atas meja kecil di kamarnya. Akh, kebab. Karena Garry-lah, Diva yang sama sekali bukan mahluk karnivora, mulai menyukai makanan selain sayur dan buah.
            File downloaded.
            Diva mengernyitkan dahinya. Memang foto itu nampak agak buram. Namun Diva masih bisa mengenali sesosok lelaki betubuh padat yang ada di foto tersebut. Di sampingnya nampak seorang lelaki yang gagah, tinggi mereka sama. Dan di antara dua lelaki tersebut, ada seorang wanita. Diva memusatkan retinanya untuk melihat lebih jelas.
Deg.. Foto itu? Garry Rollando? Edo? Mendadak dunia Diva menjadi nampak gelap. Mustahil ada kebetulan seperti itu. Tubuh rapuh itupun tenggelam dalam isak tangis.
***
            Tak ada waktu lagi. Diva segera mengepaki barang-barangnya. Dia memutuskan untuk berangkat lebih dulu ke Milan, tidak bersama rombongan. Setelah menghubungi pihak management. Diva bergegas meluncur menuju bandara, mengejar penerbangan ke Milan kelas pertama.
            Di lobby, sambil menunggu jemputan, dia melihat seorang lelaki berbadan tegap berjalan melintas. Lelaki itu nampak sangat akrab. Namun, seberapapun dia membuka file memori otaknya, data dari lelaki itu tak kunjung dia temukan.
            Perjalanan menuju manapun adalah waktu yang sangat menguras emosi Diva. Apalagi sekarang, saat dia berusaha menemukan kembali hatinya yang hilang. Hati yang dia kira akan dia temukan saat sudah mencapai kesuksesan, namun akhirnya hancur berantakan kembali. Sesekali nampak bahunya naik turun. Dibuangnya pandangan, berusaha menikmati pemandangan aktivitas orang-orang dari balik kaca taksi yang membawanya menuju bandara.
            Beib, gimana? Lo udah kasih tau Garry tentang perasaan lo? Gue penasaran banget pengin tau gimana wajah si Garry itu. Lo sih dari dulu nggak pernah mau kasih lihat fotonya Cakepan mana sama Edo gue? Hahahaha.. Dan lo tau nggak? Edo ternyata kenal juga sama lo. Kemarin dia baru cerita. Asli. Ini kebetulan yang menyenangkan. Dan Lo tau? Setelah nikah kami bakalan tinggal di Jakarta aja! Gue tunggu kabar lo ntar ya. Skype-an di jam biasa ya. Awas lo kalo molor. Gue jitak!!
            Membaca email dari Deana membuat napas Diva seakan terhenti. Otaknya beku, tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Diva merutuk berkali-kali, kenapa dia mau meluluhkan hatinya yang keras. Namun sekarang semua sudah percuma. Tak ada lagi kata. Diva berusaha melepaskan dengan rela. Melihat dua orang yang dia cintai bersama, bukankah itu istimewa?
            “Aku merestui. Kalian orang-orang baik yang aku cintai. Selamat berbahagia.”
***
            “Astagaaaaa Divaaaaaaa... Kebangetan ya Lo. Gue ini sahabat apa bukan sih? Susah amat buat cuma dengerin suara Lo doang? Gue tahu Lo udah di Jakarta kan? Tapi Lo nggak mau hubungin gue? Lo udah jadi superstar ya? Sampe lupa sama gue?!” suara Deana dari seberang sana mirip petasan renceng.
            “Sorry.. Gue bener-bener lagi sibuk,” Diva berusaha menyembunyikan perasaannya kepada Deana. Kenyataan bahwa sahabatnya sendiri menikah dengan cowok yang sangat dicintai Diva sangat menghancurkan hatinya. Dia butuh lebih dari sekedar waktu buat mengembalikan dirinya seperti dulu.
            “Gue bisa terima waktu Lo datang walau cuma beberapa menit sebelum pemberkatan nikah gue. Walau karena itu gue musti jawab pertanyaan Edo yang berjuta-juta karena dia nggak sempat ketemu Lo. Tapi pokoknya gue nggak mau tahu, tahun baru besok Lo musti datang. Titik! Bye..!!”
            Diva tersenyum kecut. Dari dulu dia tidak pernah suka perayaan tahun baru. Bahkan saat dia bersama kemewahan serta gemerlap dunia modeling serta pesta yang penuh dengan hedonisme, jauh di lubuk hatinya dia hanya ingin berada di tengah-tengah orang yang mencintainya. Dia sangat suka kembang api. Menyalakan kembang api di malam tahun baru di rumah saja sudah lebih dari cukup. Dulu dia sempat akan melakukan hal itu dengan Garry. Tapi sekali lagi itu hanya berupa sebuah kata kerja masa lampau bernama dulu karena semua keegoisannya.
***
Monas sudah mulai menjadi lautan manusia. Semuanya mempunyai tujuan yang sama. Ekspresi keriangan nampak jelas dari wajah-wajah ceria yang tak mau kalah dengan hawa dingin yang juga setia menemani. Di beberapa sudut juga sudah nampak para seniman lokal yang akan membawakan pertunjukan musik selama acara berlangsung.
“Bunny, Diva udah datang belum? Dia janji mau datang. Kalau sampai dia nggak datang juga di acara kali ini, aku cincang dia!” Deana merapatkan jaket bulunya. Dengan kesal dia memandang sekeliling, mencari sosok sahabatnya.
            “Tunggu aja, Hunny. Tentu bakalan susah nemuin kita di antara semua orang ini,” ucap lelaki bernama Edo itu sambil membelakangi Deana. Lelaki itu sibuk mengabadikan momen dengan lensa kameranya.
            “Nggak bakalan susah kali, Bunny. Kita berdiri tepat di depan panggung utama. Nggak bakalan Diva susah nyariin kita,” Deana mendengus.
            Tak berapa lama sebuah tepukan mendarat di bahu Deana. Itu Diva. Dengan mantel berwarna fuchsia karya Giorgio Armani serta sepatu boots tinggi Loubutin berwarna hitam sungguh membuat Diva layak menyandang nama itu, karena memang dialah sang bintang.
Diva berusaha menyembunyikan kesedihan di balik make up yang dikenakannya. Bibirnya yang dipulas dengan lipstik nude pink itu tak henti menebarkan senyum. Hari-hari sebagai model memang cukup mampu membuatnya menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
            “Jangan bilang Lo nyasar ya sampai telat lama banget!” Deana memeluk Diva sambil tersenyum kecut.
            “Sorry,” ucap Diva lirih.
            “Itu, Edo. Yuk ke sana. Dia udah nungguin kamu dari tadi,” Deana menunjuk punggung suaminya yang berjarak beberapa meter dari tempat mereka berdiri.
            Tanpa menunggu, Deana menggamit lengan Diva yang kebingungan. Pikiran dan hatinya berpacu, mencoba menjadi selaras, namun sepertinya tak mampu. Diva masih sibuk merancang kalimat ucapan basa-basi hingga tak sadar dia sudah berada di belakang Edo.
            “Bunny, ini Diva udah datang. Diva, suami gue di sebelah sini, kok lo ngeliatnya ke sana mulu sih?” Deana menepuk bahu Diva yang masih membuang muka.
            “Eh, sorry. Iya.. Ehm, hai E.. do? Hah?” kali ini Diva masih kebingungan, tapi karena alasan yang lain.
            “Lo kenapa sih? Suami gue ganteng ya? Sampai lo segitu kagetnya?” Deana tersenyum penuh arti, sebenarnya dia tahu apa yang sedang ada di benak sahabatnya itu, “Akh, tapi gue tahu kok. Edo yang di sebelah sana pasti lebih cakep buat lo.”
            Diva mengikuti arah telunjuk Diva. Dan jantungnya seakan ingin berhenti seketika. Lelaki itu, lelaki yang tempo hari di lihatnya di lobby apartemen, lelaki yang ternyata sangat dia rindukan kehadirannya.
            Lagu berjudul “When God Made You” itu mengalun lembut dari biola yang dimainkan dengan apik oleh seorang yang berperawakan tinggi dengan hidung yang mancung. Diikuti oleh permainan gitar akustik serta flute dan saxophone. Beberapa pengunung mengelilingi para pemusik itu dan menghayati setiap melodi dinamis yang mengalun lembut menyentuh hati, terutama hati Diva.
            Tiba-tiba lelaki yang Diva percayai sebagai Garry itu memegang jemari Diva. Dia menarik Diva ke atas panggung para pemusik itu. Di tengah kerumunan yang menyaksikan mereka berdua, Garry tiba-tiba berlutut di hadapan Diva.
            “Diva, I’m sorry for all of my fault. Sorry for making you cried. Diva, I’ve been waiting you for so long. And now is the day. I love you so much. Please forgive me. I won’t waste your tears anymore. Diva,” Garry menarik napas dalam-dalam. “Will you spend the rest of your life with me?”
            Bersamaan dengan anggukan kepala Diva dan tepuk tangan riuh para pengunjung yang menyaksikan momen indah di depan mereka, di langit ratusan pijar cahaya warna-warni menghiasi malam. Tahun berganti. Terlewati. Namun semua diawali sebuah kebahagiaan yang dinanti, khusunya oleh Diva. Kebahagiaan meleleh di pipinya.
***
            “Maaf ya, Hunny. Aku nggak tau bakalan ada kesalahpahaman kayak gini. Aku nggak ngerti kalo Deana itu sahabatmu yang bakalan dijodohin sama Edo, rekan bisnisku,” Garry menggenggam jemari tangan Diva seakan takut tangan mungil itu tak akan mampu dia genggam lagi.
            “Gambar fotomu blur sih, jadi aku kira lelaki gendut di foto itu masih dirimu. Nggak ngerti kenapa kalian bisa semirip itu,”
            “Jadi kamu nggak nyangka ya aku bisa sekurus ini? Aku pengin sekali kurus, karena aku nggak mau kamu, seorang model kelas wahid, yang cantik dan terkenal, jalan sama cowok cupu yang gendut kayak aku,”
            “Garry..”
            “Tapi aku sadar kok. Bukan itu maksud darimu mutusin aku, tapi karena kamu ingin aku lebih mendukungmu di karier kan? Andai saja komunikasi kita bisa berjalan baik, kita nggak akan alami masa pahit kayak gini ya, Hunny?! Aku mau lakuin itu. Aku mau dukung kamu. Cintaku dan citamu. Keduanya bisa berjalan beriringan kan, Sayang? Kamulah yang melengkapi sosokku yang nggak sempurna. Akhirnya kita bisa merayakan tahun baru sama-sama. Aku sayang kamu, Diva.”.  

***