Jumat, 05 Februari 2016

Galih Dan (Bukan) Ratna

               Kali ini aku tidak sedang ingin bercerita tentang film romansa yang sempat laris di Tahun 1979 itu. Bukan juga akan mengisahkan tentang Rano Karno maupun Yessi Gusman. Aku hanya ingin menuturkan tentang kita. Ya, kamu – Mas Galih – dan aku, yang bernama bukan Ratna. Surat ini aku buat untukmu.

                Mas Galih yang selalu tersenyum manis, aku tahu kamu tidak terlalu suka membaca. Jadi, aku beritahukan hal ini terlebih dahulu. Suratku ini mungkin akan sangat panjang dan melelahkan untuk kamu baca. Aku tidak memaksamu untuk menghabiskannya dalam sekali duduk, aku tahu kamu sangat sibuk, Mas. Aku sudah sangat berterima kasih jika kamu mau membacanya. Jadi, tengoklah barang sebentar-sebentar, tapi aku harap kamu mau membacanya sampai halaman terakhir.

                Apa kabar Banjarmasin hari ini, Mas? Apakah mendung juga seperti Solo? Akh, memang Solo beberapa waktu ini diguyur hujan dan suasananya menjadi sangat sendu. Tapi sesungguhnya Solo yang teduh seperti ini memang yang aku rindukan setiap kali mencoba jauh. Andai saja kamu bisa singgah di sini sebentar. Aku akan mengajakmu berkeliling. Menikmati makanan khas yang mungkin cita rasanya tidak terlalu berbeda dengan Jogja, kota asalmu. Tapi, sepertinya hal berkunjung dan berjalan-jalan bersama itu sekarang menjadi cukup mustahil.

                Apakah koleksi batu akikmu juga sudah bertambah lagi, Mas? Aku sering membayangkan ikut bersamamu keluar masuk pasar, menemanimu menggerinda bongkahan-bongkahan itu hingga menghasilkan bebatuan yang cantik. Kamu sungguh pintar memoles. Tapi, aku juga tidak bisa menerka-nerka, apakah aku akan marah jika terkalahkan dengan hobi yang menyita waktumu setiap weekend dan liburan itu, atau aku akan bisa sabar menunggu? Aahahaha, itu hanya khayalanku saja, Mas. Aku tahu, aku tidak punya tempat lagi untuk memohon itu semua terkabul.

                Mas Galih yang bercita-cita ingin jadi advokat, lucu rasanya jika teringat waktu pertama kali kita berkenalan. Aku harus berterima kasih pada Dewi karena sudah menjadi jembatan agar aku bisa kenal dengan seseorang yang hebat sepertimu, Mas. Aku mengenalmu dari semua cerita Dewi. Dan, you obviously captured me! Dari foto yang Dewi bagikan padaku, aku merasa bahwa kamu punya aura yang baik. Kemudian, kamu menyapaku lewat aplikasi chat di smartphone. Apa kamu tahu? You really had me at hello.

                Membingungkan sekali, bahwa aku jadi bisa begitu terperangkap padahal kita belum pernah bertatapmuka. Aku jadi sering tersenyum sendiri kala itu, setelah aku pikir alasannya, itu semua karena kamu, orang yang serius dan humoris pada saat yang bersamaan. Perhatian kecil yang kamu berikan di pagi hari cukup untuk membuat suasana hatiku cerah seharian.

                Mas Galih yang hobi kuliner, apa kamu ingat saat akhirnya kita dipertemukan untuk pertama kalinya di Jogja? Maaf merepotkanmu kala itu karena harus menjemputku. Dan ujungnya kamu malah aku biarkan sendirian bermain dengan smartphone-mu sementara aku menghilang sebentar bersama teman-temanku. Aku masih merasa menyesal sampai sekarang. Tapi terima kasih, kamu sudah sabar menghadapiku yang membuat kita tersasar karena aku lupa denah dan alamat.

                Jalanan kota Jogja yang hanya bisa kita nikmati sebentar selalu membawa nostalgia. Begitu pula dengan Raminten. Aku selalu terpikir tentangmu setiap mengingat Jogja. Kenangan adalah candu. Bagaimana cara aku mendapat obat penawarnya?

                Aku masih ingat, Mas Galih, saat kita berkeliling sudut Jogja dengan motor matic hitam itu. Aku terkejut saat kamu memegang tanganku dan mengatakan agar memasukkan jemariku ke dalam saku jaketmu agar tidak kepanasan. Kamu pasti tidak melihat bagaimana pipiku yang seharusnya disembunyikan karena bagian itulah malahan yang terasa panas, bukan tanganku. Andai saja aku bisa sedikit lebih lama di Jogja. Andai saja aku bisa menghabiskan waktu dan mengenalmu lebih jauh. Terlalu banyak yang ingin aku ulang, Mas. Andai takdir mengizinkan. Andai saja.

                Dan kemudian yang aku takutkan terjadi. Kamu mulai menjauh secara tiba-tiba. Walau sebenarnya dari awal saat kamu enggan memanggilku hanya dengan sekadar nama, aku sudah merasakannya. Ada jarak yang memang sedang kamu terapkan, tapi di saat yang sama kamu juga ingin mendekat. Kamu masih ragu-ragu, namun juga antusias. Ternyata kita berdua adalah manusia impulsif yang sama.

                Aku merasa kehilangan, Mas. Tapi aku tahu, kamu sudah memilih. Dan aku harus menghormati pilihan itu. Kadang, aku menyalahkan diriku yang memang suka terlalu terburu-buru. Seharusnya aku tahu, kamu memang butuh waktu. Mungkin, kamu butuh lebih dari sekadar memaklumi cinta pada pandangan pertama. Sebab pandangan kedua, ketiga dan seterusnya bisa lebih mencelikkan mata.

                Dewi sempat bertanya padaku apa yang terjadi dan hanya bisa aku jawab dengan senyuman. Aku hanya bisa menjawab bahwa kita sepertinya tidak akan memulai sesuatu yang lebih serius karena menjadi kawan juga sudah merupakan hubungan yang bisa dirayakan. Walau aku sepertinya merasa terluka untuk sebuah sebab yang mungkin salahku sendiri karena terlalu banyak menerka-nerka.

                Mas Galih yang akhirnya memilih untuk menjadi seorang teman, aku tahu bahwa kita tidak bisa memaksakan perasaan. Walau sejak pertama sejujurnya aku ingin bisa memiliki senyum manismu dan kekonyolan serta semua yang ada padamu untuk menemani langkahku, tapi aku tahu bahwa segalanya sudah diatur. Termasuk ketika aku tidak bisa mendapat apa yang aku mau. Kamu berhak mendapat yang terbaik. Walau begitu, cerita kita adalah dentingan nada terbaik dalam musik kehidupanku yang aku favoritkan. Karena yang terbaik tidaklah selalu harus dimiliki namun cukup untuk dinikmati.

                Seseorang dengan berbagai tanya yang aku belum temukan jawabannya, Mas Galih. Aku tahu mungkin aku terlalu terburu-buru menurut pandanganmu. Aku sudah mulai lupa apa warna favoritmu, entah hijau entah merah. Aku juga sudah mulai lupa apa makanan favoritmu, apakah kamu suka kecap atau tidak. Aku juga tidak tahu alasan kamu selalu menulis nama lengkapmu tanpa spasi. Aku sudah mulai memudarkan ingatanku. Lantas apa yang kamu lakukan selama beberapa bulan ini? Pastinya kamu sudah menemukan dunia baru. Tentu saja.

Ohiya, aku sekali lagi mengucapkan turut berbelasungkawa atas meninggalnya adikmu ya, Mas. Pasti berat ditinggalkan oleh orang tersayang dengan begitu mengejutkan. Tapi aku selalu percaya, Tuhan begitu mengasihi Dik Yoga. Tuhan menjaganya baik-baik di surga sana. Dik Yoga pastilah kesayangan Allah, sampai dia dijemput lebih dulu. Dan Mas Galih beserta keluarga akan diberikan kekuatan lebih untuk menjalani kehidupan hari demi hari.

                Aku tahu rasanya kehilangan, Mas. Empat tahun yang lalu, adikku juga sudah berpulang terlebih dahulu setelah berjuang melawan sakit selama dua bulan. Usianya baru sebelas tahun waktu itu. Dia masih terlihat gemuk dan ceria ketika aku terakhir memandangnya tertidur panjang. Kanker darah yang membuka jalan adik kecilku untuk menghadap Sang Khalik.

                Mungkin saat ini, adikku Frans sedang bermain bersama Dik Yoga, ya siapa tahu. Kita juga akan bertemu mereka kelak. Semua hanya perpisahan sementara. Terkadang, aku mengalihkan rasa rinduku dengan berpikir bahwa adikku sedang bermain bola bersama kawan-kawannya, terlalu asyik hingga enggan pulang. Tapi tak apa, bukankah itu artinya dia sedang berbahagia?

                Akh, sudahlah. Maaf jika aku terlalu terbawa suasana. Adikku selalu membagikan kebahagiaan. Pun aku percaya begitu juga dengan Dik Yoga. Jadi, seharusnya kita tidak punya alasan lagi untuk bersedih. Kerinduan berbeda dengan kesedihan. Kita akan selalu merindukan mereka. Tapi kesedihan tidak aku pilih untuk merayakan senyum mereka yang selalu akan aku kenang. Aku akan memilih untuk mengingat mereka dalam kebahagiaan.

                Mas, apa kamu heran mengapa aku menulis surat ini? Mengungkapkan kekecewaan? Menyatakan perasaan? Mendahuluimu menyampaikan apa yang ada dalam pikiran? Atau apa kesimpulanmu tentang semua ini? Aku bisa saja menyampaikannya, tapi aku memilih untuk menyimpannya saja. Sama seperti kamu yang tidak harus menjawab mengapa pergi menjauhiku. Cukup adil bukan? Hehehe.. Atau kalau kamu sungguh ingin tahu, nomorku masih sama. Path juga kamu tahu inisialnya. Andai pun tidak, tak mengapa.

                Dari awal aku pikir cerita Galih dan Ratna tidak sama dengan kita. Ternyata ada sisi yang cukup mirip. Mereka berdua berusaha dipisahkan oleh beberapa orang yang tidak menyetujui mereka bersama. Kalau kita, sepertinya dipisahkan oleh takdir. Klise.

                Akh, sepertinya sungguh sudah sangat panjang aku menceritakan semua yang aku rasa dan pikirkan. Pada akhir suratku yang panjang dan bertele-tele ini, aku ingin memanjatkan doa. Semoga semua yang kamu impikan terwujud. Kuliah S2-mu lancar. Menemukan jodoh yang sebanding dan sepadan, yang bisa saling membangun dan menguatkan. Dan semua doa-doa lain yang aku sematkan pada udara untuk dinaikkan menuju Sang Maha Esa.

                Berbahagialah selalu, Mas GalihWahyuAntoro.

Teriring salam dan doa,

-Ririn a.k.a bukan Ratna-



Kamis, 04 Februari 2016

Kepada Macan Di Tahun Monyet



Hai, Can. It’s been a while since our last meeting. Apa kabarmu? Aku selalu berharap kamu lebih dari sekadar baik-baik saja. Hawa dingin sisa hujan sepagian tadi masih terasa menusuk kulit. Tapi ada yang menjalar hangat di hatiku setiap kali mengingatmu. Sepertinya, aku tenang meringkuk di dalam selimut kenangan tentangmu. Tanpa harus pergi ke luar, menghadapi kenyataan yang seringkali lebih gigil daripada perasaan tentang masa lalu.

Bulan kedua di tahun monyet. Ada yang bilang ini tahun yang kurang bagus. Akan ada banyak perlawanan. Tapi, kita masih beruntung untuk urusan keuangan. Kita berdua sama-sama Macan. Tentunya kita tidak akan mudah dikalahkan. Bukankah macan itu tangguh dan tidak mudah menyerah? Akh, aku terlalu bernostalgia. Maaf, aku baru saja membaca artikel di suatu portal ramalan shio. Dan aku teringat padamu, kembaran macanku.

Kamu, lelaki hebat yang aku tahu. Gitaris band metal ternama (ahahaha), berbadan rambo tapi berhati rinto (ahahahahha lagi), a family man, teman yang baik, dan ayah yang luar biasa untuk anak gadisnya. Walaupun aku harus mengerutkan dahi berkali-kali setiap mendengar gurauan-gurauanmu, aku tetap akan memasukkanmu ke dalam daftar lelaki humoris (ahahahahaha untuk ketiga kalinya). Karena katanya, orang bershio macan memiliki selera humor yang mengagumkan. Oke, mari kita ber-hahahahaha untuk kesimpulan tadi J

Aku selalu merasa beruntung pernah mengenalmu. Walau aku sempat melewatkan masa melihatmu dengan rambut panjang lurus mirip personel F4 itu – yang tentu sangat aku syukuri karena tidak pernah menjumpainya ahahaha – dan juga banyak perjalananmu yang tak sempat aku ikuti. Aku bangga, pernah kamu percayai. Aku bersyukur pernah ada, ikut menanggung luka, walau tak seberapa lama.

Can, sudah beratus hari sejak tahun kambing kayu sampai monyet api sekarang ini. Banyak peristiwa terlewat yang kita saling tak mengetahui. Aku paham, aku bukan lagi teman bertukar cerita tentang apa saja. Dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Dan, membuka kembali kotak pandora itu tentu membawa luka. Janji-jani yang sempat terucap, anggap saja sudah ditepati. Aku mengerti. Ada waktunya datang, ada waktunya pergi, dan aku tidak akan berusaha membuat semuanya kembali.

Tak perlu lagi membangun reruntuhan.

Tapi, walau bagaimana, kamu tahu pasti alasan aku tidak pernah bisa sepenuhnya menjauh. Ada sebagian ingatan yang selalu mengajakku untuk melewati lorong waktu. Tapi, aku tidak akan mengajakmu serta. Apa yang aku sebut pulang malah seharusnya adalah hal yang menjadi alasanmu untuk pergi. Ya, memang seharusnya demikian. Tidak ada yang salah dengan itu. Aku menerimanya sebagai hadiah. Walau aku tergores, tapi aku akan baik-baik seperti selama ini dan akan selalu begitu. Jangan kuatirkan aku.

Suatu saat nanti pasti kita akan dipertemukan kembali. Entah dengan situasi yang seperti apa. Entah apakah itu saat reuni SMP, saat kita bertemu pas jam makan siang, saat berpapasan di jalan, atau malah saat berada di pusat perbelanjaan. Saat itu jika aku belum berubah, maafkan jika mungkin aku memilih menyingkir. Aku takut akan marah kepada takdir. Tapi, jika aku sudah sekuat itu, aku akan mendekat, menjabat tanganmu, dan melemparkan pertanyaan basa-basi tentang kabar.

Terima kasih sudah pernah menjagaku. Menjauhkanku dari mata iseng dan siulan mengganggu serta yang lebih daripada itu. Terima kasih sudah mengajarkanku pelajaran berharga untuk tidak mudah percaya. Terima kasih sudah melatihku untuk mengalahkan luka.

Terima kasih sudah mau meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh-kesahku. Menimpali gurauanku dengan lelucon jayusmu. Mempertahankan telingamu terhadap suaraku yang berantakan tiada tara yang aku kirim lewat voicenotes bertubi-tubi itu. Dan berjuta kekonyolan, kemarahan, dan kesalahan yang lain.

Terima kasih, Can.

Tetap pertahankan senyum malu-malumu itu.

Jangan suka marah ya. Aku tidak akan sempat untuk menyusun kacang lofet, permen cium, serta minuman susu tarik dalam botol itu, hanya untuk membuatmu tersenyum. Akh, iya, ada yang aku lupa. Setelah beberapa lama ini pasti kamu sudah sering belajar menyikapi semuanya tanpa bantuanku. Aku lega. Kamu memang setangguh macan.

Masih banyak dan mungkin terlalu banyak hal yang ingin aku sampaikan. Tetapi memang terkadang ada baiknya menyimpan sesuatu untuk kebaikan bersama.

Mari kita rayakan pertemuan dan perpisahan sebagai bagian dari kehidupan. Mari kita berpesta untuk setiap hari di depan yang akan kita lalui dengan berbagai kemungkinan. Berbahagialah! Dan saat kamu kehilangan sedikit bahagiamu, kamu tahu harus mencariku di mana. Aku akan bagikan kebahagiaanku untukmu.

Salam untuk ratu serta putri kecil dalam istanamu. Jadilah raja dan ksatria mereka. Aku? Pengembara dari negeri seberang, akan selalu memanjatkan doa-doa dari kaki langit. Untukmu. Untuk semua kebahagiaan yang kamu usahakan. Untuk semua, yang kamu perjuangkan.

Salam dalam kasih,
Your biggest fans and friend.
-Macan Api Yang Mengaku Bidadari-

“I have found the paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love.”
-Mother Teresa-