Kali ini aku
tidak sedang ingin bercerita tentang film romansa yang sempat laris di Tahun 1979
itu. Bukan juga akan mengisahkan tentang Rano Karno maupun Yessi Gusman. Aku
hanya ingin menuturkan tentang kita. Ya, kamu – Mas Galih – dan aku, yang
bernama bukan Ratna. Surat ini aku buat untukmu.
Mas Galih yang selalu tersenyum
manis, aku tahu kamu tidak terlalu suka membaca. Jadi, aku beritahukan hal ini
terlebih dahulu. Suratku ini mungkin akan sangat panjang dan melelahkan untuk
kamu baca. Aku tidak memaksamu untuk menghabiskannya dalam sekali duduk, aku
tahu kamu sangat sibuk, Mas. Aku sudah sangat berterima kasih jika kamu mau
membacanya. Jadi, tengoklah barang sebentar-sebentar, tapi aku harap kamu mau
membacanya sampai halaman terakhir.
Apa kabar Banjarmasin hari ini,
Mas? Apakah mendung juga seperti Solo? Akh, memang Solo beberapa waktu ini
diguyur hujan dan suasananya menjadi sangat sendu. Tapi sesungguhnya Solo yang
teduh seperti ini memang yang aku rindukan setiap kali mencoba jauh. Andai saja
kamu bisa singgah di sini sebentar. Aku akan mengajakmu berkeliling. Menikmati
makanan khas yang mungkin cita rasanya tidak terlalu berbeda dengan Jogja, kota
asalmu. Tapi, sepertinya hal berkunjung dan berjalan-jalan bersama itu sekarang
menjadi cukup mustahil.
Apakah koleksi batu akikmu juga
sudah bertambah lagi, Mas? Aku sering membayangkan ikut bersamamu keluar masuk
pasar, menemanimu menggerinda bongkahan-bongkahan itu hingga menghasilkan bebatuan
yang cantik. Kamu sungguh pintar memoles. Tapi, aku juga tidak bisa
menerka-nerka, apakah aku akan marah jika terkalahkan dengan hobi yang menyita
waktumu setiap weekend dan liburan
itu, atau aku akan bisa sabar menunggu? Aahahaha, itu hanya khayalanku saja,
Mas. Aku tahu, aku tidak punya tempat lagi untuk memohon itu semua terkabul.
Mas Galih yang bercita-cita
ingin jadi advokat, lucu rasanya jika teringat waktu pertama kali kita
berkenalan. Aku harus berterima kasih pada Dewi karena sudah menjadi jembatan
agar aku bisa kenal dengan seseorang yang hebat sepertimu, Mas. Aku mengenalmu
dari semua cerita Dewi. Dan, you
obviously captured me! Dari foto yang Dewi bagikan padaku, aku merasa bahwa
kamu punya aura yang baik. Kemudian, kamu menyapaku lewat aplikasi chat di smartphone. Apa kamu tahu? You really had me at hello.
Membingungkan sekali, bahwa aku
jadi bisa begitu terperangkap padahal kita belum pernah bertatapmuka. Aku jadi
sering tersenyum sendiri kala itu, setelah aku pikir alasannya, itu semua
karena kamu, orang yang serius dan humoris pada saat yang bersamaan. Perhatian
kecil yang kamu berikan di pagi hari cukup untuk membuat suasana hatiku cerah
seharian.
Mas Galih yang hobi kuliner, apa
kamu ingat saat akhirnya kita dipertemukan untuk pertama kalinya di Jogja? Maaf
merepotkanmu kala itu karena harus menjemputku. Dan ujungnya kamu malah aku
biarkan sendirian bermain dengan smartphone-mu sementara aku menghilang
sebentar bersama teman-temanku. Aku masih merasa menyesal sampai sekarang. Tapi
terima kasih, kamu sudah sabar menghadapiku yang membuat kita tersasar karena
aku lupa denah dan alamat.
Jalanan kota Jogja yang hanya
bisa kita nikmati sebentar selalu membawa nostalgia. Begitu pula dengan
Raminten. Aku selalu terpikir tentangmu setiap mengingat Jogja. Kenangan adalah
candu. Bagaimana cara aku mendapat obat penawarnya?
Aku masih ingat, Mas Galih, saat
kita berkeliling sudut Jogja dengan motor matic hitam itu. Aku terkejut saat
kamu memegang tanganku dan mengatakan agar memasukkan jemariku ke dalam saku
jaketmu agar tidak kepanasan. Kamu pasti tidak melihat bagaimana pipiku yang
seharusnya disembunyikan karena bagian itulah malahan yang terasa panas, bukan
tanganku. Andai saja aku bisa sedikit lebih lama di Jogja. Andai saja aku bisa
menghabiskan waktu dan mengenalmu lebih jauh. Terlalu banyak yang ingin aku
ulang, Mas. Andai takdir mengizinkan. Andai saja.
Dan kemudian yang aku takutkan
terjadi. Kamu mulai menjauh secara tiba-tiba. Walau sebenarnya dari awal saat
kamu enggan memanggilku hanya dengan sekadar nama, aku sudah merasakannya. Ada
jarak yang memang sedang kamu terapkan, tapi di saat yang sama kamu juga ingin
mendekat. Kamu masih ragu-ragu, namun juga antusias. Ternyata kita berdua
adalah manusia impulsif yang sama.
Aku merasa kehilangan, Mas. Tapi
aku tahu, kamu sudah memilih. Dan aku harus menghormati pilihan itu. Kadang,
aku menyalahkan diriku yang memang suka terlalu terburu-buru. Seharusnya aku
tahu, kamu memang butuh waktu. Mungkin, kamu butuh lebih dari sekadar memaklumi
cinta pada pandangan pertama. Sebab pandangan kedua, ketiga dan seterusnya bisa
lebih mencelikkan mata.
Dewi sempat bertanya padaku apa
yang terjadi dan hanya bisa aku jawab dengan senyuman. Aku hanya bisa menjawab
bahwa kita sepertinya tidak akan memulai sesuatu yang lebih serius karena
menjadi kawan juga sudah merupakan hubungan yang bisa dirayakan. Walau aku
sepertinya merasa terluka untuk sebuah sebab yang mungkin salahku sendiri
karena terlalu banyak menerka-nerka.
Mas Galih yang akhirnya memilih untuk
menjadi seorang teman, aku tahu bahwa kita tidak bisa memaksakan perasaan.
Walau sejak pertama sejujurnya aku ingin bisa memiliki senyum manismu dan
kekonyolan serta semua yang ada padamu untuk menemani langkahku, tapi aku tahu
bahwa segalanya sudah diatur. Termasuk ketika aku tidak bisa mendapat apa yang
aku mau. Kamu berhak mendapat yang terbaik. Walau begitu, cerita kita adalah
dentingan nada terbaik dalam musik kehidupanku yang aku favoritkan. Karena yang
terbaik tidaklah selalu harus dimiliki namun cukup untuk dinikmati.
Seseorang dengan berbagai tanya
yang aku belum temukan jawabannya, Mas Galih. Aku tahu mungkin aku terlalu
terburu-buru menurut pandanganmu. Aku sudah mulai lupa apa warna favoritmu,
entah hijau entah merah. Aku juga sudah mulai lupa apa makanan favoritmu,
apakah kamu suka kecap atau tidak. Aku juga tidak tahu alasan kamu selalu
menulis nama lengkapmu tanpa spasi. Aku sudah mulai memudarkan ingatanku.
Lantas apa yang kamu lakukan selama beberapa bulan ini? Pastinya kamu sudah
menemukan dunia baru. Tentu saja.
Ohiya, aku sekali lagi mengucapkan turut berbelasungkawa atas
meninggalnya adikmu ya, Mas. Pasti berat ditinggalkan oleh orang tersayang
dengan begitu mengejutkan. Tapi aku selalu percaya, Tuhan begitu mengasihi Dik
Yoga. Tuhan menjaganya baik-baik di surga sana. Dik Yoga pastilah kesayangan
Allah, sampai dia dijemput lebih dulu. Dan Mas Galih beserta keluarga akan
diberikan kekuatan lebih untuk menjalani kehidupan hari demi hari.
Aku tahu rasanya kehilangan,
Mas. Empat tahun yang lalu, adikku juga sudah berpulang terlebih dahulu setelah
berjuang melawan sakit selama dua bulan. Usianya baru sebelas tahun waktu itu.
Dia masih terlihat gemuk dan ceria ketika aku terakhir memandangnya tertidur
panjang. Kanker darah yang membuka jalan adik kecilku untuk menghadap Sang
Khalik.
Mungkin saat ini, adikku Frans
sedang bermain bersama Dik Yoga, ya siapa tahu. Kita juga akan bertemu mereka
kelak. Semua hanya perpisahan sementara. Terkadang, aku mengalihkan rasa
rinduku dengan berpikir bahwa adikku sedang bermain bola bersama
kawan-kawannya, terlalu asyik hingga enggan pulang. Tapi tak apa, bukankah itu
artinya dia sedang berbahagia?
Akh, sudahlah. Maaf jika aku
terlalu terbawa suasana. Adikku selalu membagikan kebahagiaan. Pun aku percaya
begitu juga dengan Dik Yoga. Jadi, seharusnya kita tidak punya alasan lagi
untuk bersedih. Kerinduan berbeda dengan kesedihan. Kita akan selalu merindukan
mereka. Tapi kesedihan tidak aku pilih untuk merayakan senyum mereka yang
selalu akan aku kenang. Aku akan memilih untuk mengingat mereka dalam
kebahagiaan.
Mas, apa kamu heran mengapa aku
menulis surat ini? Mengungkapkan kekecewaan? Menyatakan perasaan? Mendahuluimu
menyampaikan apa yang ada dalam pikiran? Atau apa kesimpulanmu tentang semua
ini? Aku bisa saja menyampaikannya, tapi aku memilih untuk menyimpannya saja.
Sama seperti kamu yang tidak harus menjawab mengapa pergi menjauhiku. Cukup
adil bukan? Hehehe.. Atau kalau kamu sungguh ingin tahu, nomorku masih sama.
Path juga kamu tahu inisialnya. Andai pun tidak, tak mengapa.
Dari awal aku pikir cerita Galih
dan Ratna tidak sama dengan kita. Ternyata ada sisi yang cukup mirip. Mereka
berdua berusaha dipisahkan oleh beberapa orang yang tidak menyetujui mereka
bersama. Kalau kita, sepertinya dipisahkan oleh takdir. Klise.
Akh, sepertinya sungguh sudah
sangat panjang aku menceritakan semua yang aku rasa dan pikirkan. Pada akhir
suratku yang panjang dan bertele-tele ini, aku ingin memanjatkan doa. Semoga
semua yang kamu impikan terwujud. Kuliah S2-mu lancar. Menemukan jodoh yang
sebanding dan sepadan, yang bisa saling membangun dan menguatkan. Dan semua
doa-doa lain yang aku sematkan pada udara untuk dinaikkan menuju Sang Maha Esa.
Berbahagialah selalu, Mas
GalihWahyuAntoro.
Teriring salam
dan doa,