Aku pernah
menuliskan sebuah surat kepadamu waktu itu. Apa kau masih ingat, Masa? Aku
tulis dengan penuh harapan di tengah semua ketidakmungkinan. Kala itu aku menulis
dengan segala kepongahan bahwa semua akan berakhir baik dan menyenangkan, aku
tulis dengan ringan dan tanpa beban. Tapi, aku lupa, Masa, bahwa pada akhirnya
memang engkau yang berkuasa.
Surat
pertama. Surat perkenalan yang sebenarnya sudah menjadi sebuah surat ucapan
perpisahan. Bukankah dalam isinya kau sudah tahu bahwa akan ada selamat tinggal?
Itu yang ada dalam pikiranmu pasti saat ini. Aku tak berkutik. Kamu memang benar,
masa. Dari awal waktu aku sudah tahu. Bukankah ini kisah klasik yang akhirnya
sudah dapat terbaca bahkan dari episode pertama?
Masa, tolong
sampaikan kepada lelaki penyuka kue lemonku, hatiku hancur walaupun aku berkata
aku baik-baik saja. Ketika badai kenangan itu menghantam, hatiku lebam. Aku
membenci malam, karena setiap akan tertidur bayangan wajahnya masih setia
bergelayut manja di pelupuk mata. Aku lebih membenci pagi, karena saat
terbangun kepalaku dihantam kenyataan bahwa semua tak akan sama lagi.
Masa tolong
sampaikan pada lelaki dengan senyum sempurna itu bahwa aku minta maaf. Aku
tidak bisa menuliskan sebuah cerita tentang sepasang sepatu yang sangat dia
inginkan. Menuliskannya akan butuh sangat banyak tenaga. Tenaga untuk
memikirkan apa yang harus aku tulis serta tenaga untuk menjaga agar bendungan
dalam manik mataku tidak bergejolak.
Masa, aku
pernah mengalami perpisahan, tapi sakitnya tidak pernah sesakit ini. Kau tau?
Pada kehilangan kali ini aku sakit dua kali. Tak perlu aku jelaskan. Memikirkan
kalimat tepat untuk menggambarkannya bahkan terasa begitu menyesakkan.
Masa, mungkin aku juga tidak akan bisa membuat sketsa wajahnya. Aku berjanji akan belajar menggambarkan sosok mengagumkannya. Tetapi dengan demikian, aku harus menghapal setiap detail wajahnya. Lantas, jika ingatan itu sudah melekat, bagaimana caranya agar aku susah ingat?
Masa, mungkin aku juga tidak akan bisa membuat sketsa wajahnya. Aku berjanji akan belajar menggambarkan sosok mengagumkannya. Tetapi dengan demikian, aku harus menghapal setiap detail wajahnya. Lantas, jika ingatan itu sudah melekat, bagaimana caranya agar aku susah ingat?
Pagi ini aku
teringat janji dan kenangan. Racun mematikan.
Ada yang berubah dari playlist-ku. John Legend, Sasha, Yellow
Card. Aku minta maaf. Untuk sementara kita tidak bisa berteman. Aku juga tak
akan bisa menyantap es krim dengan topping biskuit coklat merk terkenal itu
lagi dengan cara yang sama. Ada begitu banyak rasa pahit dalam setiap sendok
rasa manisnya. Dan kepada macaroon selamat
tinggal. Aku tak akan menyentuhmu.
Aku harus mengucapkan selamat tinggal
pada Morin, juga lelaki kembar itu. Biarkan mereka hidup dalam kenangan saja. Dan
kepada Violet? Aku tetap ingin menjaganya. Suatu saat, ketika kami bertemu, aku
akan menyunggingkan senyum termanisku. Dia, kesayangan. Hilang? Tak akan!
Aku ingin marah, Masa. Karena aku
yang kau pilih untuk menjadi yang dikesampingkan. Menjadi anak tangga yang
diinjak agar dia bisa menjadi lebih tinggi. Aku lupa nasihatmu, Masa. Bahwa dia
yang menjanjikan bahagia terkadang malah menjadi yang menorehkan luka. Aku
tahu, Masa, dia hanya memenuhi janji untuk kerajaan kecilnya, sebuah tanggung
jawab sebagai raja. Tapi, kenapa dia tidak bisa memenuhi janjinya juga
kepadaku? Lalu siapakah aku?
Aku tahu tidak
bisa dan tidak berhak menuntut apa-apa. Karena akulah yang menerima undangan
untuk masuk ke dalam lingkaran hidupnya. Memaksakan ruang yang memang
sebenarnya tidak ada. Mempercayai janjinya mungkin kesalahan, tetapi aku murid
yang baik. Aku akan belajar dari kesalahan. Begitu pula dengan janji untuk tidak saling kehilangan. Untuk ini, biarkan waktu yang menguji.
Dia pernah
memintaku berjanji, Masa. Memberikan izin untuk menggendong buah hatiku kelak
walaupun hanya sekali. Entahlah, Masa, apakah aku bisa memenuhinya. Karena
berharap berjumpa saja aku tak kuasa, apalagi harus melihatnya dengan kenyataan
yang tak serupa mimpi kami bersama.
Masa, aku
masih berharap akan ada pesta perpisahan yang akan bisa kami rayakan berdua.
Aku berjanji hanya akan memeluknya sekali. Membiarkan semua luka luruh dalam
genangan air mata untuk terakhir kali. Aku akan menggenggam tangannya erat,
menciptakan kenangan yang pekat. Aku akan mengingat senyumnya, satu-satunya
yang ingin aku pikirkan, agar aku yakin bahwa dia bahagia, dan aku akan belajar
baik-baik saja.
Ketika sudah habis waktu dalam kehidupan ini, Masa, bolehkah aku meminta? Izinkan kami saling menemukan dan tak akan terlepaskan sebelum yang lain memisahkan dalam kehidupan yang akan datang. Dahulukan aku mengenalinya dan pun dia demikian. Masa, biarlah kini aku hidupkan kenangan dengan setiap nyala api yang siap memberangus hatiku. Aku hanya bisa mencintainya demikian. Tanpa tanda tanya.
Cinta memberikan sayap. Aku melepaskan sayapku untuknya. Menghantarkan dia kembali pada pelukan bidadari yang sudah menanti. Aku bahagia? Mungkin nanti. Kini, biarkan aku memetik air mata, memintal senyumku sedikit demi sedikit. Ketika keharusan menjadikanku lemah, ingatkan aku, Masa, bahwa semua akan baik-baik saja.
Ketika sudah habis waktu dalam kehidupan ini, Masa, bolehkah aku meminta? Izinkan kami saling menemukan dan tak akan terlepaskan sebelum yang lain memisahkan dalam kehidupan yang akan datang. Dahulukan aku mengenalinya dan pun dia demikian. Masa, biarlah kini aku hidupkan kenangan dengan setiap nyala api yang siap memberangus hatiku. Aku hanya bisa mencintainya demikian. Tanpa tanda tanya.
Cinta memberikan sayap. Aku melepaskan sayapku untuknya. Menghantarkan dia kembali pada pelukan bidadari yang sudah menanti. Aku bahagia? Mungkin nanti. Kini, biarkan aku memetik air mata, memintal senyumku sedikit demi sedikit. Ketika keharusan menjadikanku lemah, ingatkan aku, Masa, bahwa semua akan baik-baik saja.
~I’ll be your sunshine after the rain. When the sky is turning grey, you know that I’m not far away.~