Nama
adalah doa. Demikian kata orang tua dahulu yang diamini oleh semua manusia di
belahan manapun di dunia. Entah doa apa yang diinginkan oleh orang tuaku ketika
menamaiku Lara Penggalih. Nama yang kedengarannya cukup keren hingga akhirnya
aku tahu arti nama itu–yang sedihnya aku ketahui dari buku pelajaran bahasa
Jawa–adalah “sakit hati”.
“Galih, kamu harus bisa menyembuhkan
sakit hatimu sendiri. Jangan benci bapakmu,” sambil berbaring lemah di
ranjangnya, wanita yang aku panggil “ibu” itu mengelus kepalaku perlahan. Ini
adalah kalimat kesekian kali yang sudah beliau ucapkan padaku. Sambil tersenyum
tulus ibu menanti jawabanku, yang aku tahu bukan sebuah penolakan yang
diinginkannya.
Akh,
senyum itu. Senyum yang sangat berharga karena cukup mampu menggantikan suara
tawa ibu. Sejak ibu sakit, aku nyaris tak bisa mendengar suara tawanya lagi.
Butuh energi besar untuk ibu bisa menanggapi leluconku dengan terbahak-bahak.
Lengkungan di bibir tipis ibu mampu menguapkan rasa lelah yang kupikul karena
seharian bekerja.
“Tapi, Bu. Bagaimana bisa aku harus
melupakan orang yang sudah menelantarkan kita demi ambisinya sendiri? Katakan
padaku, Bu, bagaimana caranya?”
Aku
menggigil menahan air mataku agar tidak tumpah. Menahan gejolak dalam batinku
untuk tidak memakai nada tinggi saat berbicara dengan ibu. Aku tak ingin
kehilangan senyum manisnya. Selama dua puluh lima tahun ini aku menyangka bahwa
bapakku sudah meninggal waktu aku kecil, seperti yang biasa ibu ceritakan
sewaktu aku menanyakan sosok yang sudah memberiku mata bulat dan hidung bangir
ini.
“Jangan.. Jangan jadi seperti ibu
dulu yang harus berjuang melawan sakit hati terlalu lama. Maafkan bapakmu, Lih.
Luka itu memang harus sakit saat diobati, tapi setelahnya kamu akan sembuh. Itu
permintaan terakhir ibu.”
Aku menatap wajah ibuku yang
terlihat begitu payah karena usia. Guratan perjuangan hidup terlihat jelas pada
air mukanya. Menjadi janda di usia yang masih belia serta menjadi ibu saat
belum mempunyai persiapan apa-apa dilakukan demi rasa cintanya kepadaku.
Memutuskan menerima perceraian ketika bapak memilih untuk menikahi wanita yang
usianya jauh lebih muda. Kata ibu, bapak memang doyan kawin cerai dan ibu tidak
mau aku hidup dalam lingkungan yang seperti itu. Aku sudah lama menempa diriku
untuk tidak menangis, tapi kali ini aku lupa bagaimana caranya.
“Apa bapak akan menerimaku sebagai
anaknya, Bu?” tanyaku terbata-bata.
“Tentu saja bapakmu tidak bisa
menolak anak sesempurna dirimu, Lih. Paling tidak, kamu bisa punya keluarga,
saudara, daripada sendirian di sini. Galih, keluarlah ke dunia luar. Pandanglah
segala sesuatu dari sudut yang lain.”
Aku
mengangguk samar. Ini cara terbaik agar ibu tidak lagi risau. Aku lebih suka
senyum bersahajanya daripada harus melihat wanita pahlawanku itu melukiskan
gurat duka di wajahnya yang ayu. Namun aku tahu, anggukan itu juga merupakan
janji. Dewa Baskoro, akan aku ingat nama itu baik-baik.
***
Sudah hampir satu jam aku duduk di
kursi kayu di teras rumah. Menyesap teh melati hangat sambil mendengarkan
merdunya dedaunan yang gemerisik dibelai angin sore adalah hal yang tak pernah
aku lewatkan. Aku bersyukur bisa dengan santai melepas penat setelah seharian
lelah bekerja tatkala masih banyak orang yang tak punya waktu bahkan untuk
sekadar berhenti dan minum kopi sambil bercengkerama dengan teman. Kemewahan
yang sederhana.
Dua bulan sejak kepergian ibu, aku
belum juga memutuskan untuk pergi mencari bapak. Aku tidak tahu mulai dari
mana. Memang ibu sudah memberi alamat lengkap rumah bapak, foto beliau saat
masih muda dan beberapa pemberian bapak untuk ibu yang akan menguatkan posisiku
di hadapan bapak. Tapi mungkin aku hanya belum siap untuk memulai hidup baru.
Mulai mengenal lelaki yang aku harapkan keberadaannya sejak pertama kali aku
lahir ke dunia.
“Kok ngelamun, Lih?” Cukup lama
nampaknya aku termenung larut dalam pusaran pemikiranku sampai-sampai aku tidak
menyadari kedatangan Dinda yang sudah berdiri beberapa langkah di hadapanku.
Aku tersenyum dan mempersilakannya
duduk, “Nggak melamun kok. Aku cuma lagi berpikir aja. Ada apa?”
Percakapan setelahnya membuatku
untuk pertama kalinya merutuki kedatangan gadis ayu itu. Bukan karena aku tidak
suka akan kedatangannya, aku selalu senang jika berjumpa dan melihat senyum
manis gadis asal Pekalongan itu. Hanya saja kabar yang dibawanya terlalu
menyesakkan. Cuaca sedang tidak panas tapi aku merasa gerah. Apalagi saat
kulihat guguran hujan di kedua mata indahnya saat menceritakan tentang
perjodohan yang dimandatkan bapaknya.
Aku
hanya bisa memandanginya yang terbata saat bercerita, membayangkan bagaimana
dia harus menikahi seseorang yang belum pernah dikenalnya, seseorang yang
seharusnya lebih pantas dipanggilnya bapak, seseorang yang ingin sekali
ditolaknya tetapi tidak bisa mengingat hutang keluarga. Akh, bapak. Tiba-tiba
aku merasa sangat asing dengan kata itu.
Andai
saja aku bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya padanya. Memilih dirinya
dari antara banyak hati yang pernah aku jelajahi. Cintaku tertambat padanya.
Tapi inilah aku, yang hanya bisa menghindari hatiku sendiri. Aku tak pernah
berusaha memberitahu Dinda bahwa aku sangat menyukainya karena kami tidak
ditakdirkan untuk menjadi pasangan.
“Ini
memang sudah jalan takdirku, Lih. Aku ikhlas menerima Pak Bas sebagai calon
suamiku. Cinta bisa tumbuh jika sudah terlalu sering bersama setiap hari,” Dinda
menatapku serius dengan mata sayunya, “Galih, berjanjilah untuk selalu bahagia.
Kamu juga akan menikah suatu hari nanti. Pilihlah seseorang yang bukan selalu
ada di sisimu, tapi bersedia selalu ada untukmu.”
“Iya.”
Jawabku pendek.
Dinda
melukiskan senyum di bibir tipisnya, “Cobalah buka hatimu buat Nat. Jangan
gantungin dia, Lih. Kasih keputusan. Aku harap keputusan cerdas yang bakalan
kamu pilih. Kamu nggak mau kan menyia-nyiakan orang sebaik dia?”
“Sepertinya
memang harus begitu,” Aku hanya meringis. Geli bercampur sedih karena tidak
bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ada dalam hatiku kepadanya. Ini
menyesakkan!
Sejurus
kemudian kami berpelukan ketika Dinda mengatakan hendak pamit. Sebuah pelukan
persahabatan. Aku mengelus punggungnya sambil berkata semua akan baik-baik
saja, walau sebenarnya kalimat itu lebih pantas ditujukan kepadaku sendiri. Tercium
olehku aroma apel yang bercampur dengan vanila dari rambut hitam panjangnya
yang tergerai. Kulitnya halus dan terawat dengan baik. Kulitnya tidak putih,
putih bagiku tidaklah selalu cantik.
“Lih,
janji padaku, saat menghadiri resepsiku nanti kamu harus berdandan.”
***
Suara
penyanyi campursari yang sedang melantunkan lagu “Layang Kangen” milik Didi
Kempot mengantarku sampai di depan ruangan resepsi yang didominasi warna ungu
muda dan emas. Rangkaian bunga segar menghiasi berbagai sudut ruangan. Sepasang
kembar mayang menghiasi kedua tiang pintu masuk. Adat jawa terasa lebih kental
setelah aku memasuki gedung yang berkapasitas seribu orang itu. Aku menyalami
para among tamu yang berseragam baju jumputan warna ungu tua dan mengenakan
jarik sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada tempat duduk di dekat
pelaminan.
Dinda
tidak memintaku untuk ikut sibuk mengurusi pernikahannya. Suaminya yang kaya
raya sudah memakai jasa wedding organizer
ternama untuk menangani perhelatan megah mereka. Dan lagi, Dinda ingin agar aku
bisa menikmati kehadiranku sebagai tamu yang memberinya doa restu. Menyelami
setiap prosesi pernikahan sakral itu bersama seseorang yang Dinda doakan akan
menjadi pendampingku.
Ya,
di sinilah aku sekarang, duduk bersisian dengan sosok tinggi bermata kopi yang
tak pernah lelah memujiku cantik sejak pertama menjemputku di rumah. Aku
sengaja memilih blouse peplum berbahan batik sogan dengan rok di atas lutut
berbahan senada pemberian dari Dinda sebulan sebelum dia mengatakan akan
menikah.
“Kamu
pantas pakai baju itu,” Nat melirikku dengan senyumnya yang khas. Kumis
tipisnya tertata rapi membingkai bibirnya yang penuh, “Mungkin kamu bisa
mencoba memanjangkan rambutmu sedikit.”
Aku
tersenyum dan mengangguk pelan. Secara diam-diam pesona dan kesabaran Nat telah
meluluhkan hatiku, walau aku belum bisa sepenuhnya menempatkan dia dalam
hatiku. Kupegang jemari kokohnya sambil
menatap dalam ke arah mata elangnya, “Terima kasih mau menerimaku apa adanya,
Nat.”
Dia
mengangguk mantap, “Aku akan menunggumu membuka hati buatku. Aku mencintaimu.
Aku akan membantumu menghadapi semua perasaan yang selama ini kamu simpan
sendiri. Aku tahu, ada ruang untukku di hatimu. Kita hadapi ketakutanmu
bersama.”
Aku
tersenyum lega mendengar perkataannya. Natanael adalah satu-satunya lelaki yang
aku percayai untuk memegang rahasia besarku. Aku yang memiliki ketakutan besar
terhadap mahluk yang dinamai lelaki. Aku yang lebih tertarik kepada sesama,
walaupun terkadang aku pun juga memiliki perasaan terhadap lawan jenisku. Nat
sudah mulai berhasil merobohkan dinding pertahananku yang keras dan membuatku
memasuki dunia yang berbeda, dunia dengan perspektif baru.
“Oh,
iya, ada satu permintaanku padamu,” katanya lagi.
“Apa?”
Nat
menatapku dengan serius, “Boleh aku memanggilmu dengan Lara? Nama itu lebih
cocok untukmu dan terdengar lebih manis.”
Aku
menggeleng cepat. Arti nama itu tidaklah begitu menyenangkan dan jauh dari kata
manis. Serta merta aku menolak permintaannya. Namun belum sempat aku menyatakan
penolakanku, Natanael sudah berujar lagi.
“Dalam
bahasa Rusia, arti nama Lara adalah riang gembira. Dan Penggalih berarti hati.
Pasti dulu ibumu ingin kamu menjadi gadis yang selalu memliki hati riang
gembira. Dan terbukti, aku pun jatuh cinta kepada caramu tertawa.”
Aku
tertegun sesaat. Mungkin ada benarnya perkataan Natanael. Aku belum pernah dengan
serius menanyakan arti namaku pada ibu. Aku hanya mencari tahu sendiri, “Jadi
kamu mau memanggilku dengan nama itu?”
Natanael
mengangguk cepat, “Mulai sekarang namamu adalah Lara. Kita mulai hidup yang
baru dengan perspektif berbeda.”
Gending Kodok
Ngorek mengalun dengan merdu. Pembawa acara, dengan bahasa krama kedatonnya yang fasih, mengiringi
langkah kedua mempelai memasuki ruangan. semua mata tertuju kepada sepasang
raja dan ratu sehari itu.
Mataku
menangkap sosok Dinda yang cemerlang disorot sinar lampu. Gaun beludru hitam
dengan model kutu baru berekor panjang membalut tubuh sintal Dinda. Hiasan tujuh
kembang goyang yang berkilau dan untaian melati menghiasi kepalanya. Senyum tak
pernah lepas dari bibir Dinda yang diolesi lipstik berwarna merah pastel. Dinda
nampak begitu cantik
Di
samping Dinda nampak lelaki paruh baya yang masih nampak gagah di usianya yang
tak lagi muda. Tak banyak memang yang aku tahu tentang suami sahabatku ini.
Yang aku tahu, Dinda menyebutnya dengan Pak Bas. Duda beranak lima, pengusaha
asal Jakarta. Katanya, dulu Pak Bas juga pernah punya istri orang sekampungku.
Kebetulan yang sangat tidak terduga. Aku mengamati lagi mempelai pria yang
beberapa meter lagi akan melewatiku. Wajahnya nampak tak asing. Keningku
berkerut mencoba menggali data dalam memori otakku.
“Wah,
Pak Harjo beruntung dapat menantu kaya sekelas Pak Bakoro,” aku mendengar
bisik-bisik para ibu di belakangku, “Iyalah, siapa yang nggak kenal Dewa
Baskoro, pengusaha properti yang hartanya nggak habis tujuh turunan.”
Jantungku
seperti berhenti seketika. Aku menoleh lagi, memicingkan mataku untuk
memastikan dan mencari jawab atas semua pertanyaan yang berkelebat cepat silih
berganti dalam otakku. Dan kini, lelaki itu berdiri kurang dari tiga langkah di
hadapanku. Aku bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas. Wajah yang sama
dengan foto usang pemberian ibu. Benar, ini memang sungguh kebetulan yang tak
terduga.
“I-itu...
Bapak?”
***