Sabtu, 09 Januari 2016

Lara Penggalih

          Nama adalah doa. Demikian kata orang tua dahulu yang diamini oleh semua manusia di belahan manapun di dunia. Entah doa apa yang diinginkan oleh orang tuaku ketika menamaiku Lara Penggalih. Nama yang kedengarannya cukup keren hingga akhirnya aku tahu arti nama itu–yang sedihnya aku ketahui dari buku pelajaran bahasa Jawa–adalah “sakit hati”.
            “Galih, kamu harus bisa menyembuhkan sakit hatimu sendiri. Jangan benci bapakmu,” sambil berbaring lemah di ranjangnya, wanita yang aku panggil “ibu” itu mengelus kepalaku perlahan. Ini adalah kalimat kesekian kali yang sudah beliau ucapkan padaku. Sambil tersenyum tulus ibu menanti jawabanku, yang aku tahu bukan sebuah penolakan yang diinginkannya.
Akh, senyum itu. Senyum yang sangat berharga karena cukup mampu menggantikan suara tawa ibu. Sejak ibu sakit, aku nyaris tak bisa mendengar suara tawanya lagi. Butuh energi besar untuk ibu bisa menanggapi leluconku dengan terbahak-bahak. Lengkungan di bibir tipis ibu mampu menguapkan rasa lelah yang kupikul karena seharian bekerja.
            “Tapi, Bu. Bagaimana bisa aku harus melupakan orang yang sudah menelantarkan kita demi ambisinya sendiri? Katakan padaku, Bu, bagaimana caranya?”
Aku menggigil menahan air mataku agar tidak tumpah. Menahan gejolak dalam batinku untuk tidak memakai nada tinggi saat berbicara dengan ibu. Aku tak ingin kehilangan senyum manisnya. Selama dua puluh lima tahun ini aku menyangka bahwa bapakku sudah meninggal waktu aku kecil, seperti yang biasa ibu ceritakan sewaktu aku menanyakan sosok yang sudah memberiku mata bulat dan hidung bangir ini.
            “Jangan.. Jangan jadi seperti ibu dulu yang harus berjuang melawan sakit hati terlalu lama. Maafkan bapakmu, Lih. Luka itu memang harus sakit saat diobati, tapi setelahnya kamu akan sembuh. Itu permintaan terakhir ibu.”
            Aku menatap wajah ibuku yang terlihat begitu payah karena usia. Guratan perjuangan hidup terlihat jelas pada air mukanya. Menjadi janda di usia yang masih belia serta menjadi ibu saat belum mempunyai persiapan apa-apa dilakukan demi rasa cintanya kepadaku. Memutuskan menerima perceraian ketika bapak memilih untuk menikahi wanita yang usianya jauh lebih muda. Kata ibu, bapak memang doyan kawin cerai dan ibu tidak mau aku hidup dalam lingkungan yang seperti itu. Aku sudah lama menempa diriku untuk tidak menangis, tapi kali ini aku lupa bagaimana caranya.
            “Apa bapak akan menerimaku sebagai anaknya, Bu?” tanyaku terbata-bata.
            “Tentu saja bapakmu tidak bisa menolak anak sesempurna dirimu, Lih. Paling tidak, kamu bisa punya keluarga, saudara, daripada sendirian di sini. Galih, keluarlah ke dunia luar. Pandanglah segala sesuatu dari sudut yang lain.”
Aku mengangguk samar. Ini cara terbaik agar ibu tidak lagi risau. Aku lebih suka senyum bersahajanya daripada harus melihat wanita pahlawanku itu melukiskan gurat duka di wajahnya yang ayu. Namun aku tahu, anggukan itu juga merupakan janji. Dewa Baskoro, akan aku ingat nama itu baik-baik.
***
            Sudah hampir satu jam aku duduk di kursi kayu di teras rumah. Menyesap teh melati hangat sambil mendengarkan merdunya dedaunan yang gemerisik dibelai angin sore adalah hal yang tak pernah aku lewatkan. Aku bersyukur bisa dengan santai melepas penat setelah seharian lelah bekerja tatkala masih banyak orang yang tak punya waktu bahkan untuk sekadar berhenti dan minum kopi sambil bercengkerama dengan teman. Kemewahan yang sederhana.
            Dua bulan sejak kepergian ibu, aku belum juga memutuskan untuk pergi mencari bapak. Aku tidak tahu mulai dari mana. Memang ibu sudah memberi alamat lengkap rumah bapak, foto beliau saat masih muda dan beberapa pemberian bapak untuk ibu yang akan menguatkan posisiku di hadapan bapak. Tapi mungkin aku hanya belum siap untuk memulai hidup baru. Mulai mengenal lelaki yang aku harapkan keberadaannya sejak pertama kali aku lahir ke dunia.
            “Kok ngelamun, Lih?” Cukup lama nampaknya aku termenung larut dalam pusaran pemikiranku sampai-sampai aku tidak menyadari kedatangan Dinda yang sudah berdiri beberapa langkah di hadapanku.
            Aku tersenyum dan mempersilakannya duduk, “Nggak melamun kok. Aku cuma lagi berpikir aja. Ada apa?”
            Percakapan setelahnya membuatku untuk pertama kalinya merutuki kedatangan gadis ayu itu. Bukan karena aku tidak suka akan kedatangannya, aku selalu senang jika berjumpa dan melihat senyum manis gadis asal Pekalongan itu. Hanya saja kabar yang dibawanya terlalu menyesakkan. Cuaca sedang tidak panas tapi aku merasa gerah. Apalagi saat kulihat guguran hujan di kedua mata indahnya saat menceritakan tentang perjodohan yang dimandatkan bapaknya.
Aku hanya bisa memandanginya yang terbata saat bercerita, membayangkan bagaimana dia harus menikahi seseorang yang belum pernah dikenalnya, seseorang yang seharusnya lebih pantas dipanggilnya bapak, seseorang yang ingin sekali ditolaknya tetapi tidak bisa mengingat hutang keluarga. Akh, bapak. Tiba-tiba aku merasa sangat asing dengan kata itu.
Andai saja aku bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya padanya. Memilih dirinya dari antara banyak hati yang pernah aku jelajahi. Cintaku tertambat padanya. Tapi inilah aku, yang hanya bisa menghindari hatiku sendiri. Aku tak pernah berusaha memberitahu Dinda bahwa aku sangat menyukainya karena kami tidak ditakdirkan untuk menjadi pasangan.
“Ini memang sudah jalan takdirku, Lih. Aku ikhlas menerima Pak Bas sebagai calon suamiku. Cinta bisa tumbuh jika sudah terlalu sering bersama setiap hari,” Dinda menatapku serius dengan mata sayunya, “Galih, berjanjilah untuk selalu bahagia. Kamu juga akan menikah suatu hari nanti. Pilihlah seseorang yang bukan selalu ada di sisimu, tapi bersedia selalu ada untukmu.”
“Iya.” Jawabku pendek.
Dinda melukiskan senyum di bibir tipisnya, “Cobalah buka hatimu buat Nat. Jangan gantungin dia, Lih. Kasih keputusan. Aku harap keputusan cerdas yang bakalan kamu pilih. Kamu nggak mau kan menyia-nyiakan orang sebaik dia?”
“Sepertinya memang harus begitu,” Aku hanya meringis. Geli bercampur sedih karena tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ada dalam hatiku kepadanya. Ini menyesakkan!
Sejurus kemudian kami berpelukan ketika Dinda mengatakan hendak pamit. Sebuah pelukan persahabatan. Aku mengelus punggungnya sambil berkata semua akan baik-baik saja, walau sebenarnya kalimat itu lebih pantas ditujukan kepadaku sendiri. Tercium olehku aroma apel yang bercampur dengan vanila dari rambut hitam panjangnya yang tergerai. Kulitnya halus dan terawat dengan baik. Kulitnya tidak putih, putih bagiku tidaklah selalu cantik.
“Lih, janji padaku, saat menghadiri resepsiku nanti kamu harus berdandan.”
***
Suara penyanyi campursari yang sedang melantunkan lagu “Layang Kangen” milik Didi Kempot mengantarku sampai di depan ruangan resepsi yang didominasi warna ungu muda dan emas. Rangkaian bunga segar menghiasi berbagai sudut ruangan. Sepasang kembar mayang menghiasi kedua tiang pintu masuk. Adat jawa terasa lebih kental setelah aku memasuki gedung yang berkapasitas seribu orang itu. Aku menyalami para among tamu yang berseragam baju jumputan warna ungu tua dan mengenakan jarik sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan pada tempat duduk di dekat pelaminan.
Dinda tidak memintaku untuk ikut sibuk mengurusi pernikahannya. Suaminya yang kaya raya sudah memakai jasa wedding organizer ternama untuk menangani perhelatan megah mereka. Dan lagi, Dinda ingin agar aku bisa menikmati kehadiranku sebagai tamu yang memberinya doa restu. Menyelami setiap prosesi pernikahan sakral itu bersama seseorang yang Dinda doakan akan menjadi pendampingku.
Ya, di sinilah aku sekarang, duduk bersisian dengan sosok tinggi bermata kopi yang tak pernah lelah memujiku cantik sejak pertama menjemputku di rumah. Aku sengaja memilih blouse peplum berbahan batik sogan dengan rok di atas lutut berbahan senada pemberian dari Dinda sebulan sebelum dia mengatakan akan menikah.
“Kamu pantas pakai baju itu,” Nat melirikku dengan senyumnya yang khas. Kumis tipisnya tertata rapi membingkai bibirnya yang penuh, “Mungkin kamu bisa mencoba memanjangkan rambutmu sedikit.”
Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Secara diam-diam pesona dan kesabaran Nat telah meluluhkan hatiku, walau aku belum bisa sepenuhnya menempatkan dia dalam hatiku.  Kupegang jemari kokohnya sambil menatap dalam ke arah mata elangnya, “Terima kasih mau menerimaku apa adanya, Nat.”
Dia mengangguk mantap, “Aku akan menunggumu membuka hati buatku. Aku mencintaimu. Aku akan membantumu menghadapi semua perasaan yang selama ini kamu simpan sendiri. Aku tahu, ada ruang untukku di hatimu. Kita hadapi ketakutanmu bersama.”
Aku tersenyum lega mendengar perkataannya. Natanael adalah satu-satunya lelaki yang aku percayai untuk memegang rahasia besarku. Aku yang memiliki ketakutan besar terhadap mahluk yang dinamai lelaki. Aku yang lebih tertarik kepada sesama, walaupun terkadang aku pun juga memiliki perasaan terhadap lawan jenisku. Nat sudah mulai berhasil merobohkan dinding pertahananku yang keras dan membuatku memasuki dunia yang berbeda, dunia dengan perspektif baru.
“Oh, iya, ada satu permintaanku padamu,” katanya lagi.
“Apa?”
Nat menatapku dengan serius, “Boleh aku memanggilmu dengan Lara? Nama itu lebih cocok untukmu dan terdengar lebih manis.”
Aku menggeleng cepat. Arti nama itu tidaklah begitu menyenangkan dan jauh dari kata manis. Serta merta aku menolak permintaannya. Namun belum sempat aku menyatakan penolakanku, Natanael sudah berujar lagi.
“Dalam bahasa Rusia, arti nama Lara adalah riang gembira. Dan Penggalih berarti hati. Pasti dulu ibumu ingin kamu menjadi gadis yang selalu memliki hati riang gembira. Dan terbukti, aku pun jatuh cinta kepada caramu tertawa.”
Aku tertegun sesaat. Mungkin ada benarnya perkataan Natanael. Aku belum pernah dengan serius menanyakan arti namaku pada ibu. Aku hanya mencari tahu sendiri, “Jadi kamu mau memanggilku dengan nama itu?”
Natanael mengangguk cepat, “Mulai sekarang namamu adalah Lara. Kita mulai hidup yang baru dengan perspektif berbeda.”
Gending Kodok Ngorek mengalun dengan merdu. Pembawa acara, dengan bahasa krama kedatonnya yang fasih, mengiringi langkah kedua mempelai memasuki ruangan. semua mata tertuju kepada sepasang raja dan ratu sehari itu.
Mataku menangkap sosok Dinda yang cemerlang disorot sinar lampu. Gaun beludru hitam dengan model kutu baru berekor panjang membalut tubuh sintal Dinda. Hiasan tujuh kembang goyang yang berkilau dan untaian melati menghiasi kepalanya. Senyum tak pernah lepas dari bibir Dinda yang diolesi lipstik berwarna merah pastel. Dinda nampak begitu cantik
Di samping Dinda nampak lelaki paruh baya yang masih nampak gagah di usianya yang tak lagi muda. Tak banyak memang yang aku tahu tentang suami sahabatku ini. Yang aku tahu, Dinda menyebutnya dengan Pak Bas. Duda beranak lima, pengusaha asal Jakarta. Katanya, dulu Pak Bas juga pernah punya istri orang sekampungku. Kebetulan yang sangat tidak terduga. Aku mengamati lagi mempelai pria yang beberapa meter lagi akan melewatiku. Wajahnya nampak tak asing. Keningku berkerut mencoba menggali data dalam memori otakku.
“Wah, Pak Harjo beruntung dapat menantu kaya sekelas Pak Bakoro,” aku mendengar bisik-bisik para ibu di belakangku, “Iyalah, siapa yang nggak kenal Dewa Baskoro, pengusaha properti yang hartanya nggak habis tujuh turunan.”
Jantungku seperti berhenti seketika. Aku menoleh lagi, memicingkan mataku untuk memastikan dan mencari jawab atas semua pertanyaan yang berkelebat cepat silih berganti dalam otakku. Dan kini, lelaki itu berdiri kurang dari tiga langkah di hadapanku. Aku bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas. Wajah yang sama dengan foto usang pemberian ibu. Benar, ini memang sungguh kebetulan yang tak terduga.
“I-itu... Bapak?”

***